Bulan Suro 2025 Dimulai Kapan? Berikut Tanggal, Makna dan Pantangannya

Bulan Suro 2025 merupakan bulan pertama dalam kalender Jawa, bertepatan dengan bulan Muharram dalam kalender Islam. Nama "Suro" berasal dari kata Arab "Asyura" yang merujuk pada hari ke-10 Muharram.
Bagi masyarakat Jawa, bulan ini memiliki makna spiritual mendalam dan dianggap sebagai waktu yang sakral. Bulan Suro dianggap sangat sakral oleh masyarakat Jawa, sering diisi dengan berbagai tradisi dan ritual spiritual, terutama pada malam 1 Suro yang diyakini sebagai malam penuh makna dan mistik.
Lantas, bulan Suro 2025 dimulai kapan?
Baca Juga: Kalender Jawa Weton 13 Mei 2025 Jatuh Selasa Kliwon, Dikenal Hari Anggoro Kasih
Bulan Suro dalam penanggalan Jawa tahun 2025 dimulai pada Jumat Kliwon, 27 Juni 2025 dan berlangsung selama 29 hari, berakhir pada Jumat Pon, 25 Juli 2025. Setelah itu, bulan Sapar dimulai pada Sabtu Wage, 26 Juli 2025.
Rincian Tanggal Penting Bulan Suro 2025
- 1 Suro 1959 Jawa / 1 Muharram 1447 H: Jumat Kliwon, 27 Juni 2025
- 10 Suro 1959 Jawa / 10 Muharram 1447 H: Minggu Wage, 6 Juli 2025
- 29 Suro 1959 Jawa (hari terakhir): Jumat Pon, 25 Juli 2025
Baca Juga: Kalender Jawa Januari 2025: Tanggal 17 Januari Jatuh Jumat Wage, Begini Peruntungannya
- 1 Sapar 1959 Jawa: Sabtu Wage, 26 Juli 2025.
Makna dan Bulan Suro
- Kesucian dan Introspeksi
Bulan Suro dianggap waktu untuk merenung, membersihkan hati, dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Banyak orang Jawa melakukan puasa, meditasi, atau tirakat (laku spiritual) untuk menyucikan jiwa.
- Hari Asyura
Hari ke-10 Suro (Asyura) diperingati untuk mengenang berbagai peristiwa penting, seperti keselamatan Nabi Nuh dari banjir besar, atau dalam tradisi Islam, mengenang pengorbanan Husein bin Ali di Karbala. Beberapa komunitas mengadakan doa bersama atau sedekah.
Tradisi
Malam satu Suro adalah malam pergantian tahun dalam kalender Jawa, yaitu malam menjelang tanggal 1 Suro (bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender Islam).
Malam ini dianggap sangat sakral oleh masyarakat Jawa karena memiliki makna spiritual yang mendalam, sering dikaitkan dengan introspeksi, pembersihan diri, dan penghormatan terhadap leluhur.
Berikut adalah beberapa tradisi utama yang dilakukan pada malam satu Suro:
1. Kirab Malam Satu Suro
Kirab malam satu suro digelar di Keraton Yogyakarta dan Surakarta (Solo). Keraton mengadakan kirab atau prosesi sakral di mana pusaka keraton, seperti tombak, keris, atau benda-benda bersejarah lainnya, diarak keliling kompleks keraton. Prosesi ini biasanya dilakukan dalam suasana khidmat, diiringi gamelan, dan hanya dihadiri oleh kalangan tertentu.
Kirab malam satu suro juga bermakna membersihkan pusaka secara spiritual, menghormati leluhur, dan memohon keberkahan untuk tahun mendatang.
2. Kungkum (Berendam di Sumber Air)
Masyarakat pergi ke sumber air seperti sungai, mata air, atau pantai pada malam satu Suro untuk melakukan ritual berendam atau "kungkum". Mereka berendam sambil berdoa atau bermeditasi.
Lokasi kungkum saat malam satu suro antara lain di Pantai Parangtritis, mata air di Gunung Kidul (Yogyakarta), atau Kali Gajah Wong.
Tradisi kungkum juga bermakna membersihkan diri dari energi negatif, menyucikan jiwa, dan memohon keberkahan serta kesehatan.
3. Tirakat
Banyak individu melakukan laku spiritual, seperti puasa (misalnya puasa mutih), meditasi, atau semedi di tempat-tempat suci seperti makam leluhur, gua, atau situs bersejarah.
Tradisi tirakat saat malam satu suro ini bermakna mendekatkan diri kepada Tuhan, merenungi perjalanan hidup, dan memohon petunjuk untuk masa depan.
4. Jamasan Pusaka
Ritual membersihkan benda-benda pusaka, seperti keris, tombak, atau perhiasan keluarga, dengan air kembang atau ramuan khusus. Ritual ini dilakukan secara hati-hati dan penuh hormat.
Hal ini bermakna menjaga kekuatan spiritual pusaka, menghormati leluhur, dan memperbarui ikatan dengan warisan budaya.
5. Sedekah atau Doa Bersama
Beberapa komunitas mengadakan sedekah desa, kenduri, atau doa bersama untuk memohon keselamatan dan keberkahan. Makanan seperti bubur suro (bubur merah putih) sering disajikan. Berbagi rezeki, mempererat hubungan sosial, dan memohon perlindungan dari Tuhan.
6. Tapa Bisu (Meditasi Diam)
Beberapa orang melakukan tapa bisu, yaitu berjalan tanpa berbicara atau melakukan aktivitas tertentu dalam keheningan sebagai bentuk meditasi. Di Keraton Surakarta, ada tradisi "Tapa Bisu Mbah Juru Martani" di mana peserta berjalan mengelilingi keraton dalam diam.
Pantangan
Dalam budaya Jawa, bulan Suro dianggap sebagai bulan yang sakral, sehingga terdapat beberapa pantangan yang biasanya dihindari masyarakat untuk menjaga harmoni spiritual dan menghindari hal-hal yang dianggap membawa sial atau gangguan.
Berikut adalah beberapa pantangan umum saat bulan Suro:
1. Mengadakan Pesta atau Perayaan Besar:
Menggelar acara seperti pernikahan, khitanan, atau pesta besar sering dihindari karena bulan Suro dianggap waktu untuk introspeksi dan ketenangan, bukan kemeriahan.
Keyakinan ini muncul karena energi spiritual bulan Suro dianggap kuat, sehingga acara besar bisa "mengganggu" keseimbangan.
2. Pindah Rumah:
Pindah rumah dianggap kurang baik karena dipercaya dapat mengundang energi negatif atau mengganggu stabilitas keluarga di tempat baru. Bulan Suro dianggap bukan waktu yang tepat untuk memulai sesuatu yang bersifat permanen seperti pindahan.
3. Bepergian Jauh di Malam Hari:
Bepergian, terutama pada malam satu Suro, sering dihindari karena dipercaya sebagai waktu ketika dunia gaib lebih aktif, yang bisa membawa risiko spiritual.
Beberapa daerah mempercayai bahwa malam Suro adalah saat "lelaku gaib" (aktivitas makhluk tak kasat mata) meningkat.
4. Memotong Rambut atau Kuku di Malam Hari:
Meskipun ini adalah pantangan umum dalam budaya Jawa, di bulan Suro pantangan ini lebih ditekankan, terutama pada malam hari, karena dianggap bisa mengundang energi negatif.
5. Melakukan Tindakan yang Mengundang Konflik:
Masyarakat dianjurkan untuk menjaga ucapan dan perbuatan agar tidak memicu pertengkaran atau konflik, karena bulan Suro adalah waktu untuk menjaga kedamaian batin dan sosial.
6. Mengabaikan Ritual atau Tradisi Lokal:
Di beberapa daerah, mengabaikan ritual seperti sedekah desa, membersihkan pusaka, atau menghormati leluhur dianggap bisa mengganggu harmoni dengan alam dan leluhur.
Pantangan ini bersifat kultural dan tidak mutlak diikuti oleh semua orang. Tingkat kepatuhan tergantung pada daerah, keluarga, atau individu. Misalnya, di Yogyakarta dan Solo, pantangan sering dikaitkan dengan tradisi keraton, sementara di daerah lain mungkin lebih sederhana.
Generasi modern mungkin tidak mematuhi semua pantangan, tetapi banyak yang tetap menghormati bulan Suro sebagai waktu untuk refleksi dan menjaga sikap hati-hati.
Simbol Keberkahan
Bulan Suro juga dianggap waktu untuk memulai sesuatu dengan niat baik, seperti membuka usaha atau memperbaiki hubungan, dengan harapan mendapat keberkahan.
Bulan Suro mencerminkan sinkretisme budaya Jawa dan Islam. Tradisi ini menggabungkan nilai-nilai spiritual Islam dengan kearifan lokal Jawa, seperti penghormatan terhadap leluhur dan alam.
Di beberapa daerah, bulan ini juga dikaitkan dengan cerita mistis atau kepercayaan tentang kekuatan gaib, meskipun fokus utamanya tetap pada spiritualitas dan kebersihan hati.