Dapat Penolakan soal Polemik Gelar Pahlawan Soeharto, Muhammadiyah Sarankan Bangun Dialog
Nasional

Polemik mengenai pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden Ke-2 RI Soeharto kembali mencuat.
PP Muhammadiyah, melalui Ketua Umum Haedar Nashir, menyarankan agar isu ini diselesaikan melalui dialog terbuka yang melibatkan berbagai pihak.
Menurut Haedar, dialog yang inklusif dapat membantu masyarakat memahami berbagai perspektif terkait Soeharto dan mempercepat proses rekonsiliasi nasional.
Baca Juga: Usulan Gelar Pahlawan Buat Soeharto Jadi Polemik, Begini Respons Wamensos Agus Jabo Priyono
"Semuanya harus ada dialog dan titik temu. Perspektif kita menghargai tokoh-tokoh bangsa yang memang punya sisi-sisi yang tidak baik, tetapi juga ada banyak sisi-sisi baiknya," kata Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir di Kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta, Selasa (22/4).
Haedar menarik kembali ke masa lalu. Saat itu usulan gelar pahlawan nasional pada Presiden pertama RI Sukarno juga menimbulkan kontroversi. Sampai akhirnya, Sukarno terlambat diberi gelar pahlawan.
"Padahal beliau adalah tokoh sentral, proklamator, dan lain sebagainya. Ada juga tokoh-tokoh dari kekuatan masyarakat seperti dulu Muhammad Natsir, Buya Hamka, dan seterusnya, yang juga waktu itu sulit untuk diberi penghargaan, tapi akhirnya bisa," katanya.
Baca Juga: Hari Ini, 16 Tahun Lalu : Soeharto Tutup Usia, Begini Kisahnya
Maka dari itu, soal hal ini, ke depan perlu dibangun dialog untuk rekonsiliasi.
"Lalu dampak dari kebijakan-kebijakan yang dulu berakibat buruk pada HAM dan lain sebagainya, itu diselesaikan dengan mekanisme ketatanegaraan yang tentu sesuai koridornya," jelasnya.
Dalam konteks bangsa, menurut Haedar memang sudah saatnya mencoba untuk melakukan rekonsiliasi bertahap.
"Supaya semuanya tidak saling tarik-ulur yang kontradiktif dan menghilangkan potensi bangsa ini. Dan ke depan, kita berharap justru pelajaran ini harus menjadi rujukan bagi para tokoh bangsa berseksama lah dalam memimpin Indonesia," ujarnya.
Sementara itu, sejumlah organisasi dan individu menolak pemberian gelar tersebut. KontraS, misalnya, menyerahkan surat kepada MPR RI untuk menolak wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.
Mereka berpendapat bahwa pencabutan nama Soeharto dari TAP MPR No. XI/MPR/1998 berpotensi untuk melegitimasi pelanggaran HAM dan korupsi yang terjadi selama masa pemerintahannya.
Di sisi lain, beberapa pihak berpendapat bahwa pemberian gelar tersebut dapat mempercepat rekonsiliasi nasional. Namun, hal ini tetap menjadi perdebatan yang memerlukan pertimbangan matang dari berbagai pihak.