Demokrasi Hasilkan Pemimpin Kotor atau Otoriter Lahirkan Keadilan? Begini Jawaban Prof Quraish Shihab
Ulama tanah air Prof M Quraish Shihab menyoroti demokrasi Indonesia dalam perbincangan di YouTube Gita Wirjawan. Sebagai tamu di podcast tersebut, Prof Quraish menyatakan kepada Gita Wirjawan bahwa Islam mengenal demokrasi melalui musyawarah sehingga itu bukan hal baru.
Tokoh publik yang juga mantan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan memulai pembicaraan dengan pembukaan bahwa Indonesia telah melakukan transisi sejak tahun 1998 untuk menjadi negara demokrasi liberal.
Ia bertanya kepada Prof Quraish bagaimana cara memupuk keharmonisan antara semangat demokrasi dengan semangat keislaman atau keagamaan?
Baca Juga: Piagam Madinah dan Konsep Kebangsaan dalam Islam Menurut Prof Quraish Shihab
Permasalahan Demokrasi di Indonesia
Gita Wirjawan. (YouTube)Prof Quraish Shihab menjawab bahwa masalah utama saat ini di Indonesia terletak pada perilaku para pejabat publik.
“Orang-orang yang mestinya menjadi teladan justru kerap melakukan penyelewengan dan hidup berfoya-foya,” ujarnya dalam YouTube Gita Wirjawan yang diunggah 3 April 2024.
Baca Juga: Hal yang Paling Dicari di Bulan Ramadan, Apa Bentuk Lailatul Qadar?
Ia menambahkan bahwa orang-orang baik seringkali terpinggirkan dari panggung politik. Masyarakat pun lebih cenderung memilih hal yang menyenangkan meskipun akibatnya buruk.
Menurut Quraish Shihab, bangsa ini perlu melahirkan tokoh yang mampu menghayati tuntunan agama sekaligus memahami kebutuhan masyarakat modern. Ia menegaskan bahwa penerapan Islam tidak boleh hanya berlandaskan teks tanpa pemahaman mendalam.
Beliau mencontohkan fenomena penggunaan basmalah yang dianggap sebagai identitas Islam semata. “Padahal Nabi pernah menghapus kata Bismillahirrahmanirrahim, sehingga pengetahuan agama seharusnya dipahami secara kontekstual,” jelasnya.
Demokrasi atau Otoriter?
Prof Quraish Shihab dan Gita Wirjawan. (YouTube)
Gita Wirjawan kemudian menyinggung paradoks dalam demokrasi liberal. Ia mengatakan seleksi talenta di banyak negara justru lebih mengutamakan loyalitas dan patronase ketimbang meritokrasi.
Menanggapi hal itu, Prof. Quraish Shihab menekankan pentingnya musyawarah dalam kehidupan berbangsa. Ia menyebut, musyawarah tidak bisa dilakukan dengan orang bodoh, penakut, atau yang terlalu ambisius.
Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata musyawarah berasal dari akar kata bahasa Arab yang bermakna sarang lebah. Ia menggambarkan bahwa lebah menghasilkan madu dengan cara kolektif, disiplin, dan bersih, sehingga musyawarah seharusnya melahirkan manfaat bersama.
Dalam penjelasannya, ia mengajukan pertanyaan mendasar tentang demokrasi, “Lebih baik mana, demokrasi yang menghasilkan pemimpin tidak wajar atau otoriter yang melahirkan keadilan dan kemakmuran?”
Ia menegaskan bahwa otoritarianisme bisa lebih baik jika hasilnya menciptakan keadilan masyarakat. Menurutnya, substansi dari kepemimpinan terletak pada manfaat yang dirasakan rakyat, bukan sekadar sistem yang dijalankan.