Hati-hati Konsumsi Suplemen Herbal, Termasuk Kunyit: Ingin Sembuh Malah Hati Rusak
Kesehatan

Suplemen herbal belakangan ini tengah naik daun di media sosial. Salah satu yang ikut mempromosikan adalah para pengikut TikTok yang menggembar gemborkan manfaat mengonsumsi suplemen herbal seperti ashwagandha (ginseng India atau ceri musim dingin), kunyit, dan teh hijau.
Namun, dilansir Medical News Today, banyak orang dirawat di rumah sakit setelah mengonsumsi suplemen seperti kunyit dalam dosis tinggi akibat kerusakan hati. Apa yang salah?
Ashwagandha (ginseng India atau ceri musim dingin), ekstrak teh hijau, dan kunyit, atau kurkumin, termasuk di antara enam suplemen yang diteliti terkait toksisitas hati (kondisi dimana hati menjadi rusak akibat zat beracun)
Baca Juga: BPOM: 23 Obat Sirop Pasien Gagal Ginjal Aman, Ini Daftarnya
Disebutkan, beberapa tanda kerusakan hati antara lain kelelahan, sakit perut, mual, dan urine berwarna gelap.
Suplemen Herbal tak Sepenuhnya Aman
Meskipun suplemen herbal mungkin dianggap "alami", suplemen tersebut tidak sepenuhnya aman. Apalagi, keberadaannya tidak memerlukan tinjauan atau persetujuan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) sebelum dipasarkan. Selain itu, orang dapat mengalami efek samping dengan suplemen herbal dan herbal tertentu dapat mengganggu pengobatan yang sedang mereka konsumsi.
Baca Juga: Ahli Uji Coba Transplantasi Jantung dan Ginjal Babi ke Tubuh Manusia
Kini, sebuah studi baru dari para peneliti di University of Michigan melaporkan bahwa sekitar 15,6 juta orang dewasa AS — atau 5% — telah mengonsumsi setidaknya satu suplemen herbal dalam 30 hari terakhir yang mungkin merusak hati mereka, atau bersifat hepatotoksik.
Studi ini baru-baru ini dipublikasikan di jurnal JAMA Network Open.
Mempelajari 6 Produk Botani Berpotensi Hepatotoksik (Kerusakan Hati Akibar Zat Beracun)
Ilustrasi perkebunan kunyit/Foto: KunDan Singh, pexels.com
Untuk studi ini, para peneliti menganalisis data dari lebih dari 9.500 orang dewasa AS dengan usia rata-rata 47,5 tahun yang berpartisipasi dalam Survei Pemeriksaan Kesehatan dan Gizi Nasional (NHANES) dari tahun 2017 hingga 2020. Data medis dari para peserta ini mencakup penggunaan obat resep dan suplemen herbal.
Para ilmuwan berfokus pada penggunaan enam suplemen herbal oleh peserta studi yang dianggap berpotensi hepatotoksik (kerusakan hati akibat zat beracun) berdasarkan penelitian sebelumnya. Yakni; ashwagandha, black cohosh, Garcinia cambogia, ekstrak teh hijau, beras ragi merah, kunyit atau kurkumin.
“Produk botani yang berpotensi hepatotoksik adalah produk yang mengandung bahan-bahan nabati yang telah dikaitkan sebagai penyebab potensial kerusakan hati,” jelas Alisa Likhitsup, MD, MPH, asisten profesor klinis di Departemen Penyakit Dalam di Divisi Gastroenterologi dan Hepatologi di University of Michigan dan penulis utama studi ini kepada Medical News Today.
“Bagaimana produk-produk ini menyebabkan kerusakan hati belum diketahui, tetapi kemungkinan besar disebabkan oleh metabolisme yang terjadi di hati setelah produk tersebut dikonsumsi,” ujarnya.
“Sebagai seorang hepatolog yang berpraktik, saya telah menangani pasien yang mengalami cedera hati akibat mengonsumsi suplemen makanan, dan beberapa di antaranya berakibat fatal sehingga memerlukan transplantasi hati darurat.
Data dari Drug Induced Liver Injury Network melaporkan tingkat cedera hati akibat produk botani telah meningkat dari 7% pada tahun 2004-2005 menjadi 20% pada tahun 2013-2014. Oleh karena itu, saya tertarik untuk menganalisis prevalensinya dan melihat berapa banyak orang Amerika yang mengonsumsi produk-produk ini,” lanjut Likhitsup.
15,6 Juta Orang Dewasa Gunakan Suplemen yang Berpotensi Merusak Hati
Pada akhir studi, Likhitsup dan timnya menemukan bahwa sekitar 58% dari seluruh peserta melaporkan menggunakan suplemen herbal atau suplemen makanan setidaknya sekali dalam periode 30 hari.
Sekitar 5% peserta mengatakan mereka telah mengonsumsi setidaknya satu dari enam produk botani yang berpotensi hepatotoksik dalam 30 hari terakhir. Jika diterapkan pada seluruh populasi AS, persentase ini setara dengan sekitar 15,6 juta orang dewasa.
Penggunaan botani yang berpotensi hepatotoksik ini, menurut para peneliti, serupa dengan perkiraan jumlah orang yang diresepkan obat-obatan yang berpotensi hepatotoksik seperti obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) dan obat yang digunakan untuk menurunkan kadar kolesterol jahat yang disebut simvastatin.
“Kami berharap hasil kami akan meningkatkan kesadaran pasien dan penyedia layanan kesehatan tentang bahan-bahan yang berpotensi toksik terhadap hati ini yang dikonsumsi secara teratur di kalangan orang Amerika, dan produk suplemen makanan yang tersedia di pasaran tidak diatur secara ketat,” kata Likhitsup.
“Kami masih belum memiliki data tentang risiko kerusakan hati saat mengonsumsi salah satu produk ini, sehingga akan sulit bagi dokter untuk memberikan informasi yang tidak kami ketahui ini. Dan karena produk suplemen makanan yang tersedia tidak diatur secara ketat, setiap produk mengandung beberapa bahan dengan lebih dari 50% salah label. Jadi, sulit untuk melakukan penelitian tentang topik ini.” Kata Alisa Likhitsup, MD, MPH
"Alami" tidak selalu sama amannya dengan suplemen
Setelah meninjau studi ini, Rosario Ligresti, MD, FASGE, kepala Gastroenterologi di Hackensack University Medical Center di New Jersey, mengatakan kepada MNT bahwa meskipun produk botani hepatotoksik adalah tanaman atau produk turunan tanaman, mengingat kurangnya pengawasan regulasi terhadap proses produksi dan kurangnya pengujian pada produk-produk ini, konsumen perlu menyadari bahwa produk-produk tersebut mungkin lebih berbahaya daripada bermanfaat bagi tubuh mereka dengan mengonsumsinya.
"Produk-produk ini sama sekali tidak diregulasi (sebelum dipasarkan), jadi reaksi saya adalah saya tidak terkejut bahwa produk-produk ini dapat menimbulkan risiko kesehatan yang signifikan, terutama bagi hati karena dianggap mengganggu kemampuan hati untuk memproses dan mendetoksifikasi zat-zat berbahaya," lanjut Ligresti.
"Hal ini dapat menyebabkan penumpukan racun di hati, yang dapat menyebabkan peradangan, kematian sel, dan dalam beberapa kasus yang parah, gagal hati."
Kasus Kerusakan Hati
Salah satu kasus tersebut melibatkan seorang wanita berusia 57 tahun yang dirawat di rumah sakit di New Jersey dan New York City setelah ia mulai mengonsumsi pil kunyit untuk meredakan nyeri. Sejak Maret 2025, ia telah mengonsumsi 2.250 mg kunyit setiap hari — jauh di atas batas aman.
Sebagai referensi, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menganggap 1.250 mg kunyit per kg berat badan per hari sebagai batas atas. Wanita tersebut mengalami kerusakan hati yang parah, yang menyebabkannya dirawat di rumah sakit dan kemudian dipantau selama enam hari di NYU Langone, menurut NBC News.
Beberapa tanda kerusakan hati meliputi kelelahan, kehilangan nafsu makan, mual, sakit perut, dan urine berwarna gelap.
Ligresti mengatakan bahwa setiap dokter harus berbicara dengan pasien mereka tentang risiko produk-produk semacam ini dan menanyakan apakah mereka sedang mengonsumsinya.
“Karena ‘suplemen’ konon terbuat dari bahan-bahan alami, orang-orang memiliki rasa aman yang salah — mereka mungkin percaya bahwa karena bahan-bahannya ‘alami’, maka pasti aman. Namun, penting untuk diingat bahwa alami tidak selalu berarti aman. Beberapa bahan alami dapat menjadi racun dalam dosis tinggi atau berinteraksi dengan obat-obatan.” Ujar Rosario Ligresti, MD, FASGE.
“Hal ini perlu dijelaskan kepada pasien, ditambah fakta bahwa industri suplemen tidak seketat industri farmasi. Artinya, perusahaan tidak diwajibkan membuktikan keamanan dan efektivitas produk mereka sebelum dijual. Hal ini dapat menyebabkan konsumen membeli produk yang belum diteliti dengan baik atau mungkin mengandung bahan berbahaya,” tambahnya.***
Sumber: Medical News Today