IDAI 'Menjerit', Pajak Dokter Spesialis Makin Tinggi
Nasional

Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP IDAI) 'menjerit' dengan kebijakan perpajakan terhadap dokter praktik di rumah sakit.
Mereka merasa kebijakan itu tak berpihak kepada para dokter spesialis dan memutuskan untuk melayangkan surat kepada Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Mewakili lebih dari 5 ribu dokter spesialis anak di, PP IDAI menyampaikan aspirasi dan mengaku keberatannya.
Baca Juga: Sebanyak 40 Persen Warga Jakarta Idap Obesitas Sentral
Sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 168 Tahun 2023, pajak penghasilan dokter dikenakan berdasarkan penghasilan bruto sebelum dikurangi bagi hasil dengan rumah sakit dan biaya operasional.
Hal ini berdampak negatif bagi dokter yang mayoritas memberikan layanan kepada pasien JKN.
"Ini berarti dokter membayar pajak atas uang yang tidak mereka terima,"demikian surat keberatan permohonan evaluasi kebijakan, yang diteken Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr Piprim Basarah Yanuarso, kemarin.
Baca Juga: Empat Tips IDAI Cegah Penyebaran Infeksi Hepatitis Akut
Berikut 4 Poin permasalahan utama yang menjadi keberatan dari IDAI atas kebijakan tersebut :
1. Pajak dikenakan atas penghasilan bruto, bukan penghasilan riil yang diterima dokter. Dalam praktiknya, dokter hanya menerima bagian dari tarif jasa medis karena harus berbagi dengan rumah sakit, namun pajak tetap dihitung dari penghasilan bruto yang dibayarkan pasien.
2. Efek progresif yang berlebihan bagi dokter. Pemotongan pajak yang didasarkan pada penghasilan bruto menyebabkan dokter yang mendapatkan honorarium dari berbagai sumber (termasuk dari seminar, pelatihan, atau jasa konsultasi lainnya) terkena pajak progresif lebih tinggi.
Ini berpotensi membuat dokter harus membayar pajak tambahan 5 hingga 30 persen dari pendapatan riil yang mereka terima, yang pada akhirnya semakin memberatkan.
3. Mayoritas dokter yang terdampak adalah dokter yang melayani pasien JKN. Sebagian besar dokter anak dirumah sakit melayani pasien JKN yang menggunakan tarif standar yang ditetapkan pemerintah.
Jika pajak tetap dikenakan atas penghasilan bruto, bukan netto yang diterima, maka beban pajak yang tinggi ini bisa menurunkan minat dokter untuk terus melayani pasien JKN.
Pajak ini menyerupai pajak perusahaan, bukan pajak perorangan. Dalam sistem perpajakan, perusahaan membayar pajak dari laba bersih setelah dikurangi biaya operasional.
Namun, dalam kebijakan ini, dokter dikenakan pajak seolah-olah mereka adalah perusahaan, di mana pajak dikenakan atas omset (penghasilan bruto), bukan laba bersih.
4. Seruan Penundaan Pelaporan Pajak Tahun 2024. Sebagai bentuk protes atas kebijakan ini, kami mengusulkan penundaan pelaporan pajak tahun 2024 bagi dokter spesialis anak hingga adanya diskusi dan keputusan yang lebih adil dari Kementerian Keuangan.
"Kami berharap Kementerian Keuangan dapat segera menanggapi surat ini dan membuka ruang dialog dengan PP IDAI. Kami juga memohon perhatian dari Presiden Republik Indonesia dan DPR RI untuk turut mempertimbangkan dampak kebijakan ini terhadap layanan kesehatan di Indonesia," tutupnya.