Inilah Sejarah Pacu Jalur: Dari Perayaan Islam hingga Rayakan HUT Ratu Belanda
.jpg)
Aksi bocah yang menari-nari di atas haluan perahu panjang mendadak viral di media sosial. Fenomena ini menjadi tren di kalangan Gen Z dengan istilah "aura farming", merujuk pada penari cilik di atas perahu tradisional dalam tradisi Pacu Jalur dari Kuantan Singingi, Riau.
Tak hanya ramai diperbincangkan warganet, para influencer hingga selebritas mancanegara turut membuat konten bertema Pacu Jalur. Di balik keunikannya, tradisi ini memiliki sejarah panjang dan nilai budaya yang dalam bagi masyarakat Riau.
Pacu Jalur bukan sekadar lomba dayung perahu. Tradisi ini merepresentasikan kerja sama, kekompakan, serta kecintaan masyarakat terhadap warisan leluhur.
Baca Juga: Heboh MD Entertainment Bakal Filmkan Pacu Jalur, Justru Dihujat Netizen
Pacu Jalur: Perahu Tradisional Khas Rantau Kuantan
Ajang Pacu Jalur di Tepian Narosa Teluk Kuantan Tahun 2018. (Instagram @kuansing_tourism)
Baca Juga: Biografi dan Agama Melly Mike, Penyanyi yang Lagunya Viral Jadi Sound Tren Aura Farming Pacu Jalur
Pacu Jalur, atau juga dieja Pachu Jalugh dan Patjoe Djaloer, merupakan perlombaan mendayung perahu atau sampan panjang yang terbuat dari batang kayu utuh. Perahu khas ini berasal dari daerah Rantau Kuantan, Kabupaten Kuantan Singingi, dan setiap tahunnya dilombakan di Sungai Batang Kuantan.
Lomba ini menjadi bagian dari rangkaian Festival Pacu Jalur, sebuah acara tahunan terbesar di wilayah Teluk Kuantan. Tradisi ini telah berlangsung selama ratusan tahun dan kini diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia.
Untuk mendukung pelestarian budaya, pemerintah pun secara rutin menggelar Festival Pacu Jalur sebagai agenda wisata tahunan.
Jejak Sejarah Pacu Jalur
Ajang Pacu Jalur di Tepian Narosa Teluk Kuantan Tahun 2018. (Instagram @kuansing_tourism)
Catatan tertulis mengenai Pacu Jalur pertama kali ditemukan dalam naskah lokal abad ke-17. Namun jejak perjalanan air melalui jalur sungai di wilayah ini bisa ditelusuri lebih jauh lagi, bahkan hingga abad ke-7.
Salah satu bukti sejarah tertua berasal dari Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, yang menceritakan keberangkatan pasukan Minangkabau menggunakan perahu menyusuri Sungai Batang Hari:
“… berangkat dari Minangkabau membawa dua puluh ribu bala bantuan dengan dua ratus upeti di atas sampan …”
Berdasarkan cerita lisan masyarakat, "jalur" dulunya digunakan sebagai sarana transportasi utama menyusuri Sungai Batang Kuantan, dari Hulu Kuantan hingga Cerenti. Perahu ini penting untuk mengangkut hasil bumi karena transportasi darat belum berkembang saat itu.
Lambat laun, jalur yang awalnya digunakan sebagai alat transportasi, berubah bentuk menjadi perahu panjang berhias ornamen khas seperti kepala ular atau buaya. Perahu tersebut kemudian digunakan dalam acara-acara adat dan akhirnya menjadi identitas budaya masyarakat Minangkabau di Rantau Kuantan.
Dalam sejarahnya, perahu ini juga digunakan para bangsawan untuk menyambut tamu kehormatan seperti raja atau sultan yang berkunjung ke wilayah Rantau Kuantan.
Dari Perayaan Islam ke Perayaan Ratu Belanda
Sebelum masa penjajahan Belanda, Pacu Jalur biasa digelar untuk memperingati hari besar keagamaan seperti Maulid Nabi, Idul Fitri, atau Tahun Baru Islam. Namun saat penjajahan Belanda, tradisi ini dimanfaatkan sebagai acara hiburan untuk memperingati ulang tahun Ratu Wilhelmina setiap 31 Agustus. Festival biasanya berlangsung hingga 1 atau 2 September.
Pacu Jalur dilombakan selama 2–3 hari tergantung jumlah peserta. Setelah Indonesia merdeka, perlombaan ini menjadi bagian dari perayaan Hari Kemerdekaan RI setiap bulan Agustus.
Kini, Festival Pacu Jalur telah ditetapkan sebagai bagian dari kalender wisata nasional yang rutin digelar setiap 23–26 Agustus. Tak hanya menjadi kebanggaan masyarakat Kuantan Singingi, tradisi ini juga menarik perhatian wisatawan nasional hingga mancanegara.