Kejagung Temui Kongkalikong Korupsi soal Tata Kelola Minyak Mentah dan Produk Kilang di PT Pertamina
Nasional

Kejagung mendapati indikasi kongkalikong pada kasus dugaan korupsi terkait tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina, subholding, dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) untuk periode 2018–2023 agar minyak bumi impor.
Dirdik Jampidsus Kejagung Abdul Qohar menjelaskan, kasus dugaan korupsi ini bermula ketika pemerintah menetapkan pemenuhan minyak mentah wajib dari dalam negeri pada periode 2018-2023.
Atas dasar itu, Pertamina wajib mencari pasokan minyak bumi dari kontraktor dalam negeri, sebelum merencanakan impor.
Baca Juga: Harga BBM Pertamina Terbaru 15 Agustus 2025: Pertamax Turun, Dexlite Naik
Hal itu diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri ESDM No. 42 Tahun 20218 tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi Untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri.
Namun, kata Qohar, aturan itu diduga tidak dilakukan oleh RS (Dirut Pertamina Patra Niaga) dan SDS (Direktur Feed Stock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional) dan AP (VP Feed Stock Management PT Kilang Pertamina International.
Sebaliknya, mereka diduga bersengkongkol untuk membuat produksi minyak bumi dari dalam negeri tidak terserap sehingga pemenuhan minyak mentah dan produk kilang harus dilakukan dengan cara impor.
Baca Juga: Korupsi Penggunaan Dana PT Waskita Beton Precast, Sejumlah Saksi Diperiksa Kejagung
"Tersangka RS, SDS dan AP melakukan pengkondisian dalam rapat optimalisasi hilir yang dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap seluruhnya dan akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara impor," kata Qohar dalam konferensi pers di Jakarta pada Senin malam, 24 Februari 2025.
Sebaliknya, mereka diduga bersengkongkol untuk membuat produksi minyak bumi dari dalam negeri tidak terserap sehingga pemenuhan minyak mentah dan produk kilang harus dilakukan dengan cara impor.
"Tersangka RS, SDS dan AP melakukan pengkondisian dalam rapat optimalisasi hilir yang dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap seluruhnya dan akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara impor," kata Qohar.
Untuk memperkuat kongkalikong itu, tambah Qohar, produksi minyak mentah dalam negeri oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) juga diduga sengaja ditolak oleh para terduga pelaku.
Alibinya, sebut Qohar, produksi KKKS itu diklaim tidak memenuhi nilai ekonomis, "padahal harga yang ditawarkan oleh KKKS masih masuk range harga HPS [harga perkiraan sendiri]."
Bukan hanya itu, terduga pelaku juga berdalih bahwa produksi minyak mentah dari KKKS dinilai tidak sesuai spesifikasi.
"Pada saat produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS ditolak dengan dua alasan tersebut, maka menjadi dasar minyak mentah Indonesia dilakukan ekspor," jelas Qohar.