Nasional

Kenapa Rusia yang Dapat Sanksi Berat dari AS dan Eropa tak juga Bangkrut? Ini Penyebabnya

12 Juli 2025 | 04:28 WIB
Kenapa Rusia yang Dapat  Sanksi Berat dari AS dan Eropa tak juga Bangkrut? Ini Penyebabnya
Presiden Vladimir PutinFoto: Instagram putin

Ketika Rusia secara tiba-tiba menginvasi Rusia, 24 Februari 2022, semua terkejut. Betapa tidak, saat itu Covid-19 tengah merajalela di dunia. Bahkan Rusia, konon, menjadi negara ketiga di dunia dalam jumlah kasus Covid-19. Di tengah masa sulit itu, Rusia justru nekat menyerang Ukraina.

rb-1

AS, negara-negara di Uni Eropa, dan lainnya mengecam keras. Mereka kemudian menjatuhkan sanksi berat, khususnya terkait ekonomi.

Waktu itu para pakar menilai Rusia tidak akan bertahan lama. Perang akan meredup. Tapi ternyata hingga kini perang masih berlangsung. Bahkan Rusia makin gila-gilaan menyerang Ukraina.

Baca Juga: Presiden Trump Sebut Tindakan Militer Rusia di Ukraina 'Menjijikkan'

rb-3

Foto: Instagram Trump/PutinFoto: Instagram Trump/Putin

Presiden Donald Trump berupaya membawa kedua negara ke meja perundingan untuk gencatan senjata. Tapi sikap Presiden Rusia Vladimir Putin, seperti tarik ulur, sampai akhirnya sikap Putin mulai kelihatan jelas, tidak ingin gencatan senjata. Padahal Ukraina sudah setuju, gencatan senjata 60 hari.

Putin beralasan, jika gencatan senjata, Ukraina memiliki kesempatan untuk membangun kembali kekuatannya. Putin curiga.

Baca Juga: Perang Rusia-Ukraina segera Berakhir? Putin akan Bertemu Trump dalam Waktu Dekat

Prediksi Para Pengamatan Soal Kehancuran Rusia tidak Terbukti

Lepas dari masalah tersebut, kini para pengamat yang sebelumnya mengira Rusia tidak akan bertahan lama dalam pertempuran lantaran dibebani beratnya sanksi ekonomi dari AS, Uni Eropa dan negara-negara lainnya, mulai menganalisa kembali, kekuatan Rusia setidaknya secara ekonomi.

Konon, Trump tengah bersiap memperberat lagi sanksi Rusia. Entah seberat apa, karena sanksi yang sekarang pun sudah cukup berat.

Deretan Sanksi Berat AS

Tapi ketika ditanya pada 8 Juli lalu, tentang rancangan undang-undang Kongres yang mengusulkan sanksi tambahan terhadap Rusia, Trump menjawab, "Saya sedang mempertimbangkannya dengan sangat serius”. Dikutip dari Al Jazeera.

Sejak perang di Ukraina dimulai pada tahun 2022, AS dan sekutunya telah menjatuhkan setidaknya 21.692 sanksi terhadap individu, organisasi media, dan institusi Rusia di berbagai sektor seperti militer, energi, penerbangan, galangan kapal, dan telekomunikasi.

Ekonomi Rusia belum Runtuh, Zelenskyy Minta Sanksi Semakin Diperberat

Serangan dahsyat Rusia ke wilayah Ukraina/Foto: Instagram ukraine.uaSerangan dahsyat Rusia ke wilayah Ukraina/Foto: Instagram ukraine.ua

Namun, meskipun sanksi-sanksi ini telah menghantam ekonomi Rusia, ekonominya belum runtuh seperti yang diprediksi beberapa ahli pada bulan-bulan awal perang.

Dalam beberapa bulan terakhir, Zelenskyy telah berulang kali meminta sekutu-sekutunya di Barat untuk memperketat sanksi terhadap Rusia, untuk menekan Putin agar mengakhiri perang.

Baru-baru ini, Zelenskyy mengunggah postingan di akun X pada hari Jumat setelah serangan pesawat tak berawak Rusia di Kharkiv: "Sanksi harus diperkuat. Kami mengharapkan penerapan paket sanksi baru. Segala sesuatu yang akan menekan Rusia dan menghentikannya harus dilaksanakan secepat mungkin."

Ini yang Membuat Ekonomi Rusia Tetap Kuat

Menurut OEC, China dan India membeli sebagian besar produk minyak dan gas Rusia.

Pada tahun 2024, minyak Rusia menyumbang 35 persen dari total impor minyak mentah India dan 19 persen dari impor minyak Tiongkok. Turki juga mengimpor minyak Rusia, dengan sebanyak 58 persen impor minyak olahannya bersumber dari Rusia pada tahun 2023.

Namun, Barat juga belum sepenuhnya bergantung pada Rusia.

Pada tahun 2024, negara-negara Eropa membayar lebih dari $700 juta untuk membeli produk uranium Rusia, menurut analisis lembaga pemikir Bruegel yang berbasis di Brussels, berdasarkan data dari kantor statistik Uni Eropa, Eurostat.

Pada akhir Maret tahun ini, Trump menyatakan kemarahannya terhadap Putin dan mengancam akan mengenakan "tarif sekunder" kepada negara mana pun yang membeli minyak Rusia jika kesepakatan gencatan senjata tidak tercapai, tetapi tarif ini tidak diberlakukan.

"Jika RUU sanksi baru disahkan, dan Amerika Serikat mengenakan biaya kepada Moskow untuk pertama kalinya selama pemerintahan saat ini, ini akan menjadi perubahan radikal dari kebijakan Trump yang konsisten," kata Giles.

"Masih harus dilihat apakah Trump akan benar-benar mengizinkan hal ini, atau apakah penghormatannya kepada Putin akan berarti ia akan terus menolak segala kemungkinan tindakan balasan terhadap Moskow."

Menjauh dari Konflik

Pada 18 April, Menteri Luar Negeri AS Rubio mengatakan negaranya mungkin akan "melanjutkan" perang Rusia-Ukraina jika kesepakatan gencatan senjata tidak dimediasi.

"Kita sekarang mencapai titik di mana kita perlu memutuskan apakah ini mungkin atau tidak," kata Rubio kepada para wartawan di Paris setelah perundingan antara pejabat Amerika, Ukraina, dan Eropa.

"Karena jika tidak, maka saya pikir kita akan melanjutkan saja. Ini bukan perang kita. Kita punya prioritas lain untuk difokuskan," lanjut Rubio.

Pada hari yang sama, Trump menggemakan pernyataan Rubio kepada para wartawan. Namun, Trump tidak mengatakan bahwa ia siap untuk meninggalkan perundingan perdamaian. "Yah, saya tidak ingin mengatakan itu, tetapi kami ingin melihatnya berakhir," kata Trump.

Lebih Banyak Diplomasi

Namun, hari kedua perundingan antara Rubio dan Lavrov menunjukkan bahwa AS belum menyerah pada diplomasi.

Rubio mengatakan kepada para wartawan pada hari Kamis bahwa AS dan Rusia telah bertukar gagasan baru untuk perdamaian di Ukraina. "Saya pikir ini adalah pendekatan yang baru dan berbeda," kata Rubio, tanpa memberikan detail apa pun tentang apa yang dimaksud dengan "pendekatan baru" tersebut.

"Saya tidak akan menganggapnya sebagai sesuatu yang menjamin perdamaian, tetapi ini adalah konsep yang, Anda tahu, akan saya sampaikan kembali kepada presiden," tambah Rubio.

Menyusul pertemuan Rubio dan Lavrov pada hari Kamis, Kementerian Luar Negeri Rusia mengatakan dalam siaran pers bahwa AS dan Rusia telah "bertukar pandangan yang substantif dan jujur mengenai penyelesaian di Ukraina" dan akan melanjutkan dialog yang konstruktif.

Pernyataan tersebut menambahkan: "[Rusia dan AS] telah menegaskan kembali komitmen bersama untuk mencari solusi damai bagi situasi konflik dan melanjutkan kerja sama ekonomi dan kemanusiaan Rusia-AS."***

Sumber: Al Jazeera

Tag Perang Rusia Vs Ukraina Mengapa Rusia tidak Bangkrut?