Kredit Fiktif di BPR Jepara Artha Libatkan Para Pejabat Bank Termasuk Dirutnya, Negara Rugi Rp254 Miliar
Jawa Tengah

Kasus kredit fiktif di PT Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Jepara Artha periode 2022-2024 akhirnya terbongkar. Kasus ini, ternyata, melibatkan para petinggi bank tersebut, termasuk Dirut-nya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menahan lima tersangka yang diduga terlibat dalam korupsi pencairan kredit fiktif yang merugikan negara sekurang-kurangnya mencapai Rp254 miliar.
Kelima tersangka yaitu JH (Direktur Utama BPR Jepara Artha), IN (Direktur Bisnis dan Operasional), AN (Kepala Divisi Bisnis, Literasi, dan Inklusi Keuangan), AS (Kepala Bagian Kredit), serta MIA (Direktur PT BMG/pihak swasta).
Mereka ditahan selama 20 hari pertama terhitung 18 September hingga 7 Oktober 2025 di Rutan Cabang KPK.
Awal Mula Kasus
Dilansir InfoPublik, Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, perkara ini berawal dari kesepakatan antara JH dan MIA untuk menerbitkan 40 fasilitas kredit fiktif senilai Rp263,6 miliar. Agar pencairan berjalan, JH bersama jajaran direksi dan pejabat terkait mengkondisikan dokumen tanpa melalui analisis kredit yang sah.
“Kredit fiktif tersebut dipakai untuk memperbaiki laporan keuangan BPR Jepara Artha yang saat itu dalam kondisi merugi. Sebagai kompensasi, para “debitur” fiktif menerima sedikitnya Rp100 juta,” papar Budi
Para Tersangka Terima Fee Mulai dari Rp2,6 Miliar hingga 287 Juta serta Umrah Rp300 Juta
Dari praktik ini, MIA memberikan fee besar kepada para tersangka, antara lain Rp2,6 miliar untuk JH; Rp793 juta untuk IN; Rp637 juta untuk AN; Rp282 juta untuk AS; serta fasilitas umrah senilai Rp300 juta bagi JH, IN, dan AN.
Untuk mengoptimalkan pemulihan kerugian negara, KPK telah menyita sejumlah aset, antara lain: Agunan dari 40 debitur fiktif berupa 136 bidang tanah/bangunan senilai Rp60 miliar, Aset JH berupa uang tunai Rp1,3 miliar, empat mobil SUV, dan dua bidang tanah, Aset MIA berupa uang Rp11,5 miliar, sebidang tanah rumah, dan satu mobil, dan Aset AN berupa sebidang tanah rumah dan satu unit sepeda motor.
Para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20/2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Ancaman hukumannya adalah pidana penjara maksimal seumur hidup.
Lanjut Budi Prasetyo, KPK menegaskan bahwa penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di sektor perbankan ini penting untuk menjaga integritas lembaga keuangan daerah. “Korupsi di sektor perbankan bukan hanya merugikan negara, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap sistem keuangan,” tutupnya.***