Legislator Tuntut Aqua Buka Hasil Kajian Water Stress Assessment
Polemik kasus air minum kemasan Aqua masih bergulir. Berbagai penjelasan dari kedua belah pihak sudah disampaikan namun perdebatan soal air pegunungan dan bukan air pegunungan masih terus bergulir. Klarifikasi terbaru diberikan oleh Kepala BPKN Muhammad Mufti Mubarok. Ia menegaskan, air Aqua diambil dari air gunung dengan proses bor.
Sementara itu, Anggota Komisi XII DPR RI Ateng Sutisna mendesak perusahaan untuk membuka hasil kajian “water stress assessment” dan memetakan zona rawan air tanah di wilayah operasional mereka. “Izin penggunaan air tanah atau SIPA bukan izin yang berlaku selamanya. Izin tersebut harus terus dievaluasi sesuai dinamika ketersediaan air tanah yang sangat dipengaruhi oleh kondisi hidrologis,” tegas Ateng, dikutip dari laman DPR RI. Lebih lanjut, ia mendorong pemerintah dan pihak perusahaan untuk melakukan kajian water stress assessment secara menyeluruh. Kajian ini penting untuk memetakan kondisi sumber daya air tanah suatu wilayah agar dapat diklasifikasikan ke dalam zona merah, kuning, atau hijau. Apakah Wilayah Subang Wilayah Aman Atau Zona Rawan Air Tanah
“Dari hasil kajian tersebut akan terlihat apakah wilayah Subang tempat perusahaan AMDK (Air Minum Dalam Kemasan) ini beroperasi termasuk zona aman atau justru zona rawan air tanah. Jika terbukti masuk zona merah, maka pengambilan air tanah harus dihentikan segera tanpa kompromi,” ujar politisi Fraksi PKS itu. Ia juga mengingatkan bahwa kegiatan konservasi di wilayah hulu tidak dapat dijadikan pembenaran bagi praktik eksploitasi berlebih di wilayah sensitif. “Kegiatan konservasi hanya relevan bagi industri yang beroperasi di zona kuning atau hijau, dan itu pun tetap dibatasi. Tidak bisa konservasi dijadikan tameng untuk membenarkan penyedotan air tanah berlebih,” tegasnya.
Baca Juga: BPKN: Clear Aqua Memang Air Gunung Diambil dari Proses Bor, Ini Kata Danone Indonesia
Ilustrasi [Foto: Alexis Ricardo Alaurin, pexels.com]
Label Ramah Lingkungan bukan Jaminan
Ateng menambahkan, banyak perusahaan AMDK di daerah lain yang telah meraih predikat PROPER Hijau atau Emas, namun tetap harus melandaskan operasinya pada kajian ilmiah tentang kondisi air tanah. “Label ramah lingkungan bukan jaminan bahwa pengelolaan sudah benar. Justru perusahaan yang meraih PROPER tinggi harus menjadi teladan dengan membuka hasil kajian ilmiah mereka kepada publik,” kata Ateng. Sebagai perusahaan besar yang telah lama beroperasi di Indonesia, Aqua memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk memastikan bahwa setiap tetes air yang diambil telah melalui mekanisme yang berkelanjutan. Transparansi data dan hasil kajian merupakan bentuk akuntabilitas terhadap publik. “Jika Aqua berani mempublikasikan hasil kajian secara terbuka, kegaduhan di masyarakat bisa ditepis dengan sendirinya. Namun jika belum ada, maka sudah saatnya berbenah dan siap menerima konsekuensi,” tegas legislator Dapil Jawa Barat IX yang meliputi Sumedang, Majalengka, Subang. Dengan temuan tersebut, dorongan agar perusahaan AMDK melakukan water stress assessment secara terbuka menjadi semakin relevan. Kajian ilmiah berbasis data lapangan akan memastikan kegiatan industri tetap sejalan dengan prinsip keberlanjutan. Transparansi, sebagaimana disampaikan Ateng Sutisna, bukan hanya bentuk akuntabilitas, tetapi juga langkah strategis untuk menjaga kepercayaan publik terhadap industri air minum dalam kemasan.
Sebagaimana diketahui, kasus ini bermula dari Inspeksi yang dilakukan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, ke Aqua di Kabupaten Subang, beberapa waktu lalu. Kunjungan tersebut mengungkap fakta bahwa produksi air minum dalam kemasan raksasa ini mengambil dari sumur bor dalam, bukan mata air pegunungan langsung sebagaimana selama ini diklaim publik.
Baca Juga: Truk Pengangkut Aqua Galon Tabrak 5 Mobil di Gerbang Tol Ciawi, Danone Indonesia Bilang Begini