LG Batal Investasi Baterai EV Senilai Rp 129 Triliun, Ini Analisa Pengamat!
Nasional

LG Korea Selatan batal investasi proyek baterai kendaraan Listrik (Electric Vehicle) menuai sorotan banyak pihak. Ada yang menyoroti masalah kesiapan ekosistem EV nasional tapi tidak sedikit yang menyebut soal lemahnya diplamasi investasi.
Menurut Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, hal ini mencerminkan adanya tantangan struktural dan strategis yang belum terselesaikan, mulai dari regulasi yang belum solid hingga lemahnya diplomasi investasi.
“Indonesia punya potensi besar karena cadangan nikel yang melimpah, tapi tanpa reformasi yang nyata, potensi itu akan sulit diwujudkan,” ujar Josua, Jumat (25/4/2025), dilansir InfoPublik.
Baca Juga: Ingin Ganti Baterai Mobil Listrik? Ini Harganya!
Menurut Josua, ada empat pilar utama yang harus segera diperkuat pemerintah agar Indonesia bisa bangkit dan kembali menarik investor besar di sektor EV, pertama di kepastian hukum dan kebijakan konsisten.
Pemerintah perlu memperkuat kepastian regulasi, terutama di sektor hilirisasi nikel, perizinan lingkungan, dan pemenuhan komponen lokal. Perubahan aturan yang mendadak serta persoalan lahan dan energi sering kali menjadi penghalang utama investasi jangka panjang.
Kedua insentif strategis. Indonesia harus memperluas dan memperkuat insentif fiskal dan non-fiskal, seperti pengurangan pajak, jaminan pembelian (offtake), dan kemitraan strategis antara BUMN dan swasta. Model ini penting agar investasi di sektor EV tak hanya berhenti di tahap eksplorasi.
Baca Juga: Mobil Listrik di bawah Rp500 Juta, Ini Daftarnya!
Keterbatasan SDM dan Kesiapan Ekosistem EV
Ketiga, SDM industri yang siap pakai. Salah satu hambatan terbesar saat ini adalah keterbatasan tenaga kerja teknis dan insinyur di sektor EV. Reformasi pendidikan vokasi yang berorientasi pada kebutuhan hilirisasi menjadi kunci utama.
Terakhir diplomasi ekonomi dan branding industri. Negara seperti Vietnam berhasil karena mampu menjual narasi stabilitas dan infrastruktur yang siap. Indonesia perlu memperkuat peran dalam forum strategis seperti ASEAN+3 dan aktif mempromosikan sektor EV sebagai peluang emas bagi investor global.
Data dari Kementerian Investasi menunjukkan bahwa sepanjang 2024, sektor logam dasar dan pertambangan masih menjadi andalan Foreign Direct Investment (FDI), dengan nilai masing-masing mencapai USD13,6 miliar dan USD5,2 miliar. Namun, minat terhadap ekosistem EV belum sekuat ekspektasi.
“Investor masih percaya pada komoditas kita, tapi mereka ragu apakah ekosistem EV kita sudah siap. Ini soal eksekusi kebijakan, bukan lagi potensi di atas kertas,” tegas Josua.
Josua menegaskan bahwa kegagalan proyek besar seperti LG seharusnya menjadi wake-up call. Pemerintah perlu mempercepat reformasi struktural agar narasi Indonesia sebagai pemain utama EV dunia tidak hanya jadi slogan, tetapi terealisasi melalui industrialisasi dan penciptaan nilai tambah dalam negeri.***