Perjalanan Kasus Setya Novanto Hingga Dinyatakan Bebas Bersyarat
Hukum

Mantan Ketua DPR RI sekaligus politikus Partai Golkar, Setya Novanto, resmi mendapatkan pembebasan bersyarat pada Sabtu, 16 Agustus 2025.
Kebebasan ini datang sehari sebelum peringatan HUT ke-80 Republik Indonesia (RI), menandai babak baru dalam perjalanan panjang kasus korupsi e-KTP yang sempat mengguncang tanah air.
Awal Kasus e-KTP dan Vonis Berat
Setya Novanto saat ditahan. [Instagram]Kasus hukum Setya Novanto bermula dari skandal megaproyek Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun.
Pada 2018, pihak pengadilan menjatuhkan vonis kepada Setya Novanto selama 15 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan, serta kewajiban membayar uang pengganti sebesar USD 7,3 juta.
Selain hukuman penjara, pengadilan juga mencabut hak politik Novanto untuk menduduki jabatan publik selama lima tahun setelah selesai menjalani pidana.
Putusan ini menjadikan Setya Novanto sebagai salah satu tokoh politik dengan vonis korupsi paling berat dalam sejarah Indonesia.
Perjalanan hukum Setya Novanto tidak berhenti di situ. Pada Juni 2025, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukannya.
Melalui putusan tersebut, hukumannya dikurangi dari 15 tahun menjadi 12,5 tahun penjara.
Tak hanya itu, masa pencabutan hak politiknya juga dipangkas, dari semula lima tahun menjadi hanya 2,5 tahun.
Pengurangan hukuman ini sempat menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat.
Pelunasan Denda dan Uang Pengganti
Sebelum mendapatkan status bebas bersyarat, Setya Novanto melunasi seluruh kewajiban hukumnya.
Ia membayar denda Rp 500 juta dan menyetor uang pengganti senilai sekitar Rp 49 miliar, sesuai dengan ketetapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Langkah pelunasan ini menjadi salah satu syarat utama sebelum dirinya dinyatakan berhak mengajukan pembebasan bersyarat.
Proses dan Status Bebas Bersyarat
Penampakan Setya Novanto usai bebas bersyarat. [Instagram]Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menyatakan bahwa Setya Novanto memenuhi syarat administratif maupun substantif untuk memperoleh pembebasan bersyarat.
Ia telah menjalani dua pertiga masa pidana dan menunjukkan perilaku baik selama menjalani hukuman.
Rekomendasi pembebasan bersyarat diterbitkan pada 10 Agustus 2025 dan secara resmi disahkan pada 15 Agustus 2025.
Sejak saat itu, statusnya berubah dari narapidana menjadi klien pemasyarakatan.
Meski demikian, Novanto tetap memiliki kewajiban melapor secara rutin ke Balai Pemasyarakatan (Bapas) Bandung hingga April 2029.
Jika terbukti melanggar aturan pembebasan, status kebebasannya bisa dicabut.
Pembebasan bersyarat Setya Novanto memicu beragam reaksi. Publik menyoroti kembali skandal korupsi e-KTP yang telah merugikan negara dalam jumlah besar.
Pihak KPK menegaskan bahwa meski kasus ini sudah bergulir lama, pelajaran penting dari skandal e-KTP tidak boleh dilupakan.
Menurut KPK, peristiwa ini harus menjadi peringatan serius bagi bangsa agar praktik korupsi serupa tidak kembali terulang di masa depan.