Purbaya Jadi Raja Solo, Tedjowulan Melawan
Belum Ada Pengesahan Resmi dari Pemerintah
Raja Keraton Surakarta, Pakubuwono XIII, meninggal dunia pada Minggu (2/11/2025) pukul 07.29 WIB di Usia 77 Tahun. [Instagram]
Tedjowulan menilai, selama belum ada pengesahan resmi dari pemerintah, kepemimpinan sementara berada di tangannya. Ia juga menyebut bahwa posisinya sebagai pejabat tertua di lingkungan Keraton membuatnya memiliki tanggung jawab moral menjaga stabilitas dan keutuhan lembaga adat tersebut.
Pernyataan ini memicu ketegangan di kalangan keluarga besar dan abdi dalem Keraton. Pihak pendukung Purbaya menilai dasar hukum yang digunakan Tedjowulan sudah tidak relevan karena SK itu berlaku saat PB XIII masih hidup.
Sementara itu, kelompok pendukung Tedjowulan berpendapat bahwa keberlangsungan pemerintahan adat tidak bisa ditentukan sepihak, apalagi tanpa keterlibatan pemerintah sebagai pengawas resmi.
Tedjowulan sendiri merupakan adik beda ibu dari PB XIII, anak dari PB XIII dengan istri keduanya, KRA Retnodiningrum.
Namanya bukan sosok baru dalam konflik tahta Keraton Solo. Pada tahun 2004, ia pernah dinobatkan oleh sebagian pengikutnya sebagai PB XIII tandingan, sebelum akhirnya berdamai dan mengakui kepemimpinan saudaranya pada 2012.
Sejak saat itu, Tedjowulan diberi gelar Mahamenteri dan membantu menjalankan urusan pemerintahan adat.
Kini, perseteruan lama itu muncul kembali, menandai kembalinya dualisme di tubuh Kasunanan Surakarta.
Bagi sebagian pihak, konflik ini mencerminkan rapuhnya sistem suksesi di lingkungan kerajaan yang belum memiliki aturan baku di era modern.
Namun bagi pendukung masing-masing kubu, pertarungan ini adalah perjuangan untuk menjaga legitimasi sejarah dan warisan budaya leluhur.
Situasi di Keraton Solo kini menjadi sorotan masyarakat dan pemerintah.
Banyak kalangan berharap kedua pihak dapat menempuh jalan musyawarah, agar konflik tidak berujung pada perpecahan yang semakin dalam.
Keraton Surakarta selama ini bukan hanya pusat kebudayaan Jawa, tetapi juga simbol persatuan dan kehormatan masyarakat Surakarta.
Bila konflik ini tak segera diselesaikan, dikhawatirkan kepercayaan publik terhadap lembaga adat akan semakin menurun.
Keraton yang seharusnya menjadi penjaga nilai tradisi bisa kehilangan wibawanya akibat perebutan kekuasaan yang terus berulang.
Kini, seluruh mata tertuju pada langkah selanjutnya dari kedua tokoh tersebut. Akankah Purbaya tetap melangkah sebagai PB XIV dengan legitimasi keluarga, ataukah Tedjowulan berhasil mempertahankan kendali melalui dasar administratif?
Jawaban dari pertarungan ini akan menentukan arah masa depan Keraton Surakarta, lembaga yang masih menjadi bagian penting dalam identitas budaya Jawa hingga hari ini.