Jawa Tengah

Purbaya Jadi Raja Solo, Tedjowulan Melawan

06 November 2025 | 14:48 WIB
Purbaya Jadi Raja Solo, Tedjowulan Melawan
Kolase Tedjowulan dan Gusti Purbaya. [Instagram]

Wafatnya Sri Susuhunan Pakubuwono XIII atau PB XIII membuka kembali babak baru dalam konflik internal Keraton Surakarta Hadiningrat.

rb-1

Tahta kerajaan yang seharusnya diwariskan secara adat kini kembali menjadi rebutan antara dua tokoh penting, Gusti Purbaya dan Kangjeng Gusti Pangeran Haryo Panembahan Agung (KGPHPA) Tedjowulan.

Baca Juga: Gusti Purbaya, Calon Raja Solo Pernah Ungkap 'Nyesel Gabung Republik'

rb-3

Keduanya mengklaim sebagai pihak yang paling berhak memimpin Keraton Solo, sebuah simbol budaya dan sejarah Jawa yang telah berdiri lebih dari dua abad.

Putra bungsu PB XIII, KGPAA Hamengkunegoro atau Gusti Purbaya, secara resmi menyatakan diri sebagai penerus tahta dengan gelar Pakubuwono XIV.

Pernyataan itu disampaikan sesaat sebelum jenazah PB XIII diberangkatkan menuju Makam Raja-Raja Mataram di Imogiri, Bantul, Yogyakarta.

Baca Juga: Solo dan Surakarta Dikira Sama, Ini Perbedaannya

“Atas perintah dan titah Sri Susuhunan Pakubuwono XIII, saya, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamangkunegoro, pada hari ini, Rabu Legi, 14 Jumadilawal Tahun Dal 1959 atau 5 November 2025, naik tahta menjadi Raja Keraton Surakarta Hadiningrat dengan gelar Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono XIV," kata Gusti Purbaya dalam bahasa Jawa, Rabu (5/11/2025).

Simbolik Penyerahan Kekuasaan

Gusti Purbaya telah diangkat jadi Raja Solo. [Instagram]Gusti Purbaya telah diangkat jadi Raja Solo. [Instagram]

Prosesi tersebut menjadi momen simbolik penyerahan kekuasaan, sebagaimana tradisi lama di lingkungan Kasunanan.

Tindakan Purbaya mendapat dukungan kuat dari kakaknya, GKR Timoer Rumbai Kusuma Dewayani. Ia menegaskan bahwa langkah sang adik sudah sesuai adat Kasunanan, karena sumpah di hadapan jenazah raja sebelumnya merupakan bentuk kesetiaan dan tanggung jawab menjaga keberlangsungan kerajaan.

Dalam pandangannya, pengambilan sumpah di hadapan jenazah bukanlah pelanggaran adat, melainkan penegasan agar tidak terjadi kekosongan kepemimpinan.

Sejak tahun 2022, PB XIII diketahui telah menunjuk Gusti Purbaya sebagai pewaris takhta. Penunjukan itu diumumkan secara terbuka pada peringatan Tingalan Dalem Jumenengan atau hari kenaikan tahta PB XIII yang ke-18.

Dengan demikian, keputusan Purbaya untuk naik tahta bukan langkah tiba-tiba, melainkan hasil proses panjang dan restu langsung dari almarhum ayahandanya.

Namun, langkah Purbaya ini tidak berjalan mulus. Mahamenteri Keraton Solo, KGPHPA Tedjowulan, menolak klaim tersebut. Ia menyatakan bahwa dirinya berhak menjalankan fungsi raja sementara atau ad interim, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 430-2933 Tahun 2017.

Dalam SK itu, Tedjowulan ditetapkan sebagai Mahamenteri yang mendampingi PB XIII dalam mengelola Kasunanan Surakarta di bawah koordinasi pemerintah pusat.

Belum Ada Pengesahan Resmi dari Pemerintah

Raja Keraton Surakarta, Pakubuwono XIII, meninggal dunia pada Minggu (2/11/2025) pukul 07.29 WIB di Usia 77 Tahun. [Instagram]Raja Keraton Surakarta, Pakubuwono XIII, meninggal dunia pada Minggu (2/11/2025) pukul 07.29 WIB di Usia 77 Tahun. [Instagram]

Tedjowulan menilai, selama belum ada pengesahan resmi dari pemerintah, kepemimpinan sementara berada di tangannya. Ia juga menyebut bahwa posisinya sebagai pejabat tertua di lingkungan Keraton membuatnya memiliki tanggung jawab moral menjaga stabilitas dan keutuhan lembaga adat tersebut.

Pernyataan ini memicu ketegangan di kalangan keluarga besar dan abdi dalem Keraton. Pihak pendukung Purbaya menilai dasar hukum yang digunakan Tedjowulan sudah tidak relevan karena SK itu berlaku saat PB XIII masih hidup.

Sementara itu, kelompok pendukung Tedjowulan berpendapat bahwa keberlangsungan pemerintahan adat tidak bisa ditentukan sepihak, apalagi tanpa keterlibatan pemerintah sebagai pengawas resmi.

Tedjowulan sendiri merupakan adik beda ibu dari PB XIII, anak dari PB XIII dengan istri keduanya, KRA Retnodiningrum.

Namanya bukan sosok baru dalam konflik tahta Keraton Solo. Pada tahun 2004, ia pernah dinobatkan oleh sebagian pengikutnya sebagai PB XIII tandingan, sebelum akhirnya berdamai dan mengakui kepemimpinan saudaranya pada 2012.

Sejak saat itu, Tedjowulan diberi gelar Mahamenteri dan membantu menjalankan urusan pemerintahan adat.

Kini, perseteruan lama itu muncul kembali, menandai kembalinya dualisme di tubuh Kasunanan Surakarta.

Bagi sebagian pihak, konflik ini mencerminkan rapuhnya sistem suksesi di lingkungan kerajaan yang belum memiliki aturan baku di era modern.

Namun bagi pendukung masing-masing kubu, pertarungan ini adalah perjuangan untuk menjaga legitimasi sejarah dan warisan budaya leluhur.

Situasi di Keraton Solo kini menjadi sorotan masyarakat dan pemerintah.

Banyak kalangan berharap kedua pihak dapat menempuh jalan musyawarah, agar konflik tidak berujung pada perpecahan yang semakin dalam.

Keraton Surakarta selama ini bukan hanya pusat kebudayaan Jawa, tetapi juga simbol persatuan dan kehormatan masyarakat Surakarta.

Bila konflik ini tak segera diselesaikan, dikhawatirkan kepercayaan publik terhadap lembaga adat akan semakin menurun.

Keraton yang seharusnya menjadi penjaga nilai tradisi bisa kehilangan wibawanya akibat perebutan kekuasaan yang terus berulang.

Kini, seluruh mata tertuju pada langkah selanjutnya dari kedua tokoh tersebut. Akankah Purbaya tetap melangkah sebagai PB XIV dengan legitimasi keluarga, ataukah Tedjowulan berhasil mempertahankan kendali melalui dasar administratif?

Jawaban dari pertarungan ini akan menentukan arah masa depan Keraton Surakarta, lembaga yang masih menjadi bagian penting dalam identitas budaya Jawa hingga hari ini.

Tag solo surakarta gusti purbaya tedjowulan