Sedih! Belum Bayar SPP, Siswa SD Dihukum Belajar di Lantai
Sumatra Utara

Di sebuah sekolah dasar swasta di Medan, seorang siswa berusia 10 tahun berinisial IM harus menerima hukuman yang menyentuh hati. Video yang kini viral lewat akun @cctv_mdan itu menunjukkan IM, murid kelas IV, dipaksa untuk duduk di lantai saat mengikuti pelajaran.
Hukuman ini diberlakukan karena IM belum bisa membayar Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) selama tiga bulan. Kisah ini bermula ketika IM, yang merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, melaporkan kepada ibunya bernama Kamelia, bahwa dia dihukum oleh wali kelas, seorang guru berinisial H.
"Ibu, tolong ambil rapor saya. Saya malu duduk di bawah ini," ujar IM, penuh rasa takut dan malu. Kamelia, seorang ibu tunggal yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan keluarga, tak kuasa menahan air mata saat mendengar keluhan anaknya.
Baca Juga: Masa Tenang Pilkada Sumut 2024, Bawaslu Tertibkan APK di Medan Sekitarnya
Sempat merasa bingung dan cemas, dia pun memutuskan untuk mendatangi sekolah pada 8 Januari 2025, untuk melihat langsung kondisi anaknya. Sesampainya di sekolah, Kamelia terkejut saat melihat IM duduk di lantai, di tengah teman-temannya yang tampak bingung dan terdiam.
Rasa kecewa Kamelia semakin dalam setelah dia mengetahui bahwa pihak sekolah, termasuk kepala sekolah, tidak mengetahui perlakuan tersebut. “Saya menangis di depan pagar sekolah. Teman-teman IM mengejar saya, memegang tangan saya dan mengatakan, ‘Ibu, kasihan dia duduk di lantai seperti pengemis'," ungkap Kamelia dengan suara bergetar.
Awal Mula Masalah
Baca Juga: Kenaikan Isa Al-Masih, Brimob Polda Sumut Sterilisasi Sejumlah Gereja di Medan
Masalah ini bermula ketika Kamelia, yang tidak memiliki pekerjaan tetap, menghadapi kesulitan finansial untuk membayar SPP anak-anaknya. Pada Oktober hingga Desember 2024, dia sudah meminta dispensasi kepada kepala sekolah untuk menunda pembayaran SPP selama tiga bulan.
Kepala sekolah, yang pada saat itu dijabat oleh Juli Sari, memberikan izin agar anaknya bisa mengikuti ujian akhir semester meskipun belum membayar SPP. Namun, meskipun ujian sudah bisa diikuti, rapor IM tidak bisa diambil karena SPP yang masih menunggak.
Kamelia yang saat itu sedang sakit dan tidak bisa datang ke sekolah, tak bisa mengambil rapor untuk anaknya. Ketika liburan panjang berakhir pada 6 Januari 2025, IM kembali ke sekolah. Namun, wali kelas mengirimkan pesan melalui grup WhatsApp orang tua siswa yang mengingatkan bahwa anak-anak yang belum melunasi SPP dan uang buku tidak diperbolehkan mengikuti pelajaran.
Dalam upaya untuk mencari solusi, Kamelia mengirimkan pesan suara kepada wali kelas, memohon agar IM tetap diizinkan mengikuti pelajaran meskipun belum membayar. Namun, pesan tersebut sepertinya tak cukup untuk merubah kebijakan. Sebagai akibatnya, IM dipaksa untuk duduk di lantai sejak hari pertama semester genap.
"Anak saya tidak bisa menahan malu. Dia ingin belajar, tapi dia merasa dihina. Saya bilang kepadanya, mungkin saya bisa menjual ponsel untuk membayar SPP, tapi dia hanya berkata, ‘Ibu, saya malu sekali,’” ucap Kamelia dengan pilu.
Hukuman yang Tak Seharusnya Terjadi
Dalam percakapan Kamelia dengan wali kelas, yang kemudian berujung pada perdebatan sengit, dia merasa kecewa karena perlakuan terhadap anaknya sangat tidak manusiawi. Bahkan, setelah kejadian itu, ia dibawa ke ruang kepala sekolah.
Ketika ditanya apakah kepala sekolah tahu tentang hukuman tersebut, jawabannya mengejutkan: "Saya tidak tahu kalau anak ibu dihukum seperti itu," ucap kepala sekolah.
Setelah kejadian itu, Kamelia berharap agar pihak sekolah memberikan penjelasan. Namun, ketika dihubungi oleh media, Kepala Sekolah SD Swasta Abdi Sukma, Juli Sari enggan memberikan komentar mengenai insiden tersebut.
Kamelia yang kini merasa dilema, di satu sisi ingin anaknya tetap bisa sekolah dan mendapatkan pendidikan yang layak, di sisi lain terhimpit oleh keadaan ekonomi yang sulit. Sebagai orang tua tunggal, Kamelia berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga, namun terhalang oleh berbagai aturan yang dianggapnya tidak manusiawi.
Kisah IM dan Kamelia menggambarkan kesulitan yang dialami banyak keluarga di tengah tekanan biaya pendidikan yang semakin tinggi. Hukuman yang diterima oleh IM menyentuh hati banyak orang, memunculkan pertanyaan besar tentang kebijakan sekolah dalam menangani masalah keuangan orang tua siswa.
Kisah ini bukan hanya tentang satu anak yang dihukum, tetapi juga tentang ketidaksetaraan dan tantangan yang dihadapi oleh orang tua yang berjuang agar anak-anak mereka mendapatkan pendidikan yang layak tanpa dihukum karena kesulitan ekonomi.