Terlalu Sadis! Dua Mantan PM Israel Kecam Netanyahu yang Berencana Membangun ‘Kamp Konsentrasi’ di Rafah
Nasional

Tidak semua warga Israel suka dengan aksi Perdana Menterinya, Benjamin Netanyahu, yang terus menggempur Gaza dan warganya, bahkan mengejar mereka hingga ke kamp-kamp pengungsian. Sungguh sadis!
Di antara yang tidak suka itu terdapat dua mantan Perdana Menteri Israel, Yair Lapid dan Ehud Olmert. Keduanya sangat mengecam keras kelakuan Netanyahu. Mereka dan warga Israel lainnya menyerukan keperihatinan yang dalam atas rencana pemerintah (Israel) ini untuk membangun ‘kota kemanusiaan’ di atas reruntuhan Rafah.
‘Kamp Konsentrasi’ untuk Warga Gaza
Baca Juga: Trump Sebut Gencatan Senjata Gaza Pekan Depan tapi Israel Makin Rajin Membantai Rakyat Gaza
Foto: tangkap layar YouTube On Demand News
Dua politisi terkemuka Israel mengkritik rencana pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk membangun apa yang disebutnya "kota kemanusiaan" di Gaza selatan. Mereka mengatakan, usulan tersebut sama saja dengan menahan warga Palestina di "Kamp Konsentrasi". Proposal tersebut, ucap mereka, sama saja menahan warga Palestina di ‘Kamp Konsentrasi’.
Kritik tersebut disampaikan ketika pasukan Israel terus membombardir Gaza, menewaskan sedikitnya 95 warga Palestina sepanjang hari, pada Minggu. Senin, Israel kembali menyerang dengan drone yang menyasar Pasar Makanan di Kota Gaza menyebabkan 12 orang tewas, termasuk seorang Ahli Bedah Utama. .
Baca Juga: Hamas Setuju Proposal AS Gencatan Senjata 60 Hari dan Pembebasan Tawanan tapi AS Menyangkal
Dua politisi terkemuka Israel mengkritik rencana pemerintah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk membangun apa yang disebutnya "kota kemanusiaan" di Gaza selatan, dengan mengatakan bahwa proposal tersebut akan sama saja dengan menahan warga Palestina di "kamp konsentrasi".
Ide Buruk dari Segala Perspektif: Keamanan, Politik, Ekonomi, logistik
Lapid, pemimpin partai oposisi terbesar Israel, mengatakan kepada Radio Angkatan Darat Israel bahwa "tidak ada hal baik" yang akan dihasilkan dari rencana untuk membangun "kota kemanusiaan" di atas reruntuhan kota Rafah.
"Itu ide yang buruk dari segala perspektif – keamanan, politik, ekonomi, logistik," ujarnya.
"Saya tidak suka menggambarkan kota kemanusiaan sebagai kamp konsentrasi, tetapi jika keluar darinya dilarang, maka itu adalah kamp konsentrasi," tambahnya.
Lapid menjabat sebagai perdana menteri Israel selama enam bulan pada tahun 2022.
‘Kota Kemanusiaan’ Versi Israel akan Tampung Seluruh Penduduk Gaza
Menurut pemerintah Israel, "kota kemanusiaan" ini awalnya akan menampung 600.000 warga Palestina terlantar yang saat ini tinggal di tenda-tenda di daerah al-Mawasi yang padat penduduk di sepanjang pantai selatan Gaza. Namun pada akhirnya, seluruh penduduk enklave yang berjumlah lebih dari dua juta orang itu akan dipindahkan ke sana.
Citra satelit menunjukkan pasukan Israel telah meningkatkan operasi pembongkaran di Rafah dalam beberapa bulan terakhir. Pada tanggal 4 April, jumlah bangunan yang hancur mencapai sekitar 15.800. Pada tanggal 4 Juli, jumlahnya telah meningkat menjadi 28.600.
Respon Olmert, PM Israel 2006-2009
Olmert, yang menjabat sebagai perdana menteri Israel dari tahun 2006 hingga 2009, juga mengecam rencana Israel tersebut.
"Ini kamp konsentrasi. Saya minta maaf," ujarnya kepada surat kabar Guardian Inggris.
"Jika mereka [warga Palestina] akan dideportasi ke 'kota kemanusiaan' yang baru, maka bisa dibilang ini bagian dari pembersihan etnis," ujarnya. "Ketika mereka membangun kamp di mana mereka [berencana] untuk 'membersihkan' lebih dari separuh Gaza, maka pemahaman yang tak terelakkan dari strategi ini [adalah] bukan untuk menyelamatkan [warga Palestina]. Melainkan untuk mendeportasi mereka, mendorong mereka, dan membuang mereka. Setidaknya saya tidak punya pemahaman lain."
Pembersihan Etnis Warga Palestina di Gaza
Para pejabat kemanusiaan juga mengatakan bahwa rencana kamp interniran di Rafah akan menjadi dasar bagi pembersihan etnis warga Palestina dari Gaza.
Philippe Lazzarini – Kepala Badan PBB untuk pengungsi Palestina, atau UNRWA, yang telah dilarang oleh Israel – pekan lalu bertanya apakah rencana tersebut akan mengakibatkan "Nakba kedua". Istilah ini merujuk pada pengusiran ratusan ribu warga Palestina dari rumah mereka selama berdirinya negara Israel pada tahun 1948.
"Ini secara de facto akan menciptakan kamp konsentrasi besar-besaran di perbatasan dengan Mesir bagi warga Palestina, yang terus-menerus mengungsi lintas generasi," kata Lazzarini, seraya menambahkan bahwa hal itu akan "menghilangkan prospek masa depan yang lebih baik bagi warga Palestina di tanah air mereka", tulis Al Jazeera
Pemindahan Warga Gaza ke Kamp Bersifat Sukarela, Benarkah?
Pemerintah Israel bersikeras bahwa pemindahan warga Palestina ke kamp interniran di Rafah akan bersifat "sukarela", sementara Netanyahu dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump terus menggembar-gemborkan usulan mereka untuk memindahkan secara paksa semua warga Palestina di Gaza dari daerah kantong tersebut.
Netanyahu mengatakan dalam sebuah jamuan makan malam dengan Trump pekan lalu bahwa Israel bekerja sama dengan AS "sangat erat untuk menemukan negara-negara yang akan berupaya mewujudkan apa yang selalu mereka katakan, bahwa mereka ingin memberikan masa depan yang lebih baik bagi warga Palestina".
Negara-negara Arab Tolak Penggusuran Warga Gaza
Sementara itu, Presiden AS mengatakan, "Kami telah mendapatkan kerja sama yang luar biasa dari (negara-negara) di sekitar Israel" dan "sesuatu yang baik akan segera terjadi".
Namun, negara-negara tetangga Israel dan negara-negara Arab lainnya telah dengan tegas menolak rencana penggusuran warga Palestina dari Gaza, begitu pula warga Palestina yang lelah perang di daerah kantong pesisir tersebut.
Sementara itu, kantor berita Reuters melaporkan bahwa Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF), sebuah kelompok swasta yang didukung AS dan Israel yang mendistribusikan bantuan di Gaza, telah mengajukan rencana untuk membangun kamp-kamp berskala besar yang disebut "daerah transit kemanusiaan" di dalam dan mungkin di luar wilayah Palestina.
Proposal tersebut, yang dibuat beberapa waktu setelah 11 Februari, menguraikan visi untuk "menggantikan kendali Hamas atas penduduk di Gaza" dengan GHF yang menggambarkan kamp-kamp tersebut sebagai tempat di mana warga Palestina dapat "tinggal sementara, melakukan deradikalisasi, reintegrasi, dan bersiap untuk pindah jika mereka menginginkannya", menurut Reuters.
GHF adalah kelompok utama yang saat ini diizinkan oleh militer Israel untuk mendistribusikan makanan di Gaza.
Kelompok ini telah mendirikan empat lokasi distribusi di Gaza selatan dan tengah, tetapi saat ini mengoperasikan satu titik di dekat Rafah.
800 Orang Warga Palestina yang Cari Bantuan di GHF Tewas
Anak-anak Gaza terima bantuan makanan/Foto: tangkap layar
Sejak operasinya dimulai pada akhir Mei, pasukan Israel telah menewaskan setidaknya 800 warga Palestina yang mencari bantuan di lokasi-lokasi GHF.
Israel ingin GHF menggantikan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Gaza dan mengambil alih semua operasi bantuan.
Kelompok hak asasi manusia dan para ahli mengatakan GHF juga merupakan bagian dari rencana Israel untuk mendorong penduduk Palestina ke selatan dan akhirnya keluar dari Jalur Gaza.
Pembantaian Warga Palestina dan Rencana Pembangunan Kamp
Omar Rahman, seorang peneliti di Middle East Council on Global Affairs, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa pembunuhan di lokasi-lokasi GHF dan sekarang rencana pembangunan kamp interniran memperjelas bahwa "tujuan akhir Israel di sini adalah penghancuran fisik Gaza, rekayasa keruntuhan masyarakat Palestina di sana, dan depopulasi paksa seluruh Jalur Gaza."
Ia mengatakan rencana Israel adalah untuk memusatkan penduduk Palestina dan memberikan "tekanan pada mereka sehingga pilihan mereka setiap hari adalah antara kelaparan dan ditembak".
"Mereka berharap ini akan mengarah pada emigrasi 'sukarela' dari Gaza yang mereka coba paksakan," ujarnya, seraya menambahkan bahwa "apa yang Israel coba lakukan adalah menciptakan kamp konsentrasi, yang pada dasarnya adalah sel tahanan hingga ada pilihan lain untuk mengosongkan (wilayah) itu".***
Sumber: Al Jazeera, sumber lainnya