UMP di Sumut Sudah Naik, Mengapa Daya Beli Pekerja Masih Tertekan?
Kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) Sumatera Utara tahun 2026 sebesar 7,9 persen menjadi Rp3.228.971 belum sepenuhnya mampu meredam keluhan pekerja.
Meski secara nominal meningkat, banyak buruh menilai kenaikan tersebut belum sebanding dengan tekanan kebutuhan hidup yang terus membesar.
Pengamat ekonomi Sumatera Utara, Gunawan Benjamin, menilai kondisi ini wajar terjadi.
Baca Juga: Amankan Hari Raya Idul Fitri 1446 H, Polda Sumut Kerahkan 12 Ribu Personel dan Siapkan 167 Pospam
Menurutnya, penetapan UMP oleh Gubernur Sumatera Utara sudah mengacu pada formula pemerintah dengan batas atas nilai alfa serta mempertimbangkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Pengamat Ekonomi Gunawan Benjamin. [Istimewa]
“Kenaikan UMP pada dasarnya sudah memperhitungkan inflasi dan bahkan menambahkan kenaikan pendapatan di atas inflasi yang terjadi. Namun persoalannya, dampak kenaikan upah ini tidak dirasakan merata oleh seluruh pekerja,” ujar Gunawan, Selasa (22/12/2025).
Baca Juga: Terima B1-KWK dari Hanura, Edy Rahmayadi: Jadi Tambahan Semangat
Gunawan menjelaskan, kenaikan UMP hanya berlaku bagi pekerja dengan masa kerja di bawah satu tahun. Sementara pekerja dengan masa kerja lebih dari satu tahun bergantung pada struktur dan skala upah di masing-masing perusahaan.
“Harapannya tentu kenaikan upah pekerja di atas satu tahun bisa lebih besar dari laju inflasi. Kalau tidak, maka pengeluaran akan terus lebih besar dari pemasukan,” jelasnya.
Selain itu, Gunawan menyoroti bahwa perhitungan UMP didasarkan pada inflasi yang telah terjadi, bukan inflasi yang akan dihadapi ke depan.
“Kenaikan upah ini berlaku untuk tahun depan, sementara inflasi tahun depan belum tentu sama. Kalau pengendalian inflasi tidak optimal, maka nilai riil uang yang dipegang masyarakat akan tergerus,” katanya.
Faktor lain yang memperberat kondisi pekerja adalah meningkatnya jumlah tenaga kerja informal. Fenomena ini mencerminkan adanya penurunan kualitas pendapatan akibat pemutusan hubungan kerja, pengurangan jam kerja, hingga pemangkasan tunjangan.
“Data menunjukkan ada pergeseran ke sektor informal dengan pendapatan yang lebih rendah. Ini jelas memengaruhi daya beli masyarakat,” tambah Gunawan.
Tak hanya itu, lonjakan pengeluaran rumah tangga juga menjadi beban tersendiri, terutama biaya pendidikan yang meningkat seiring pertumbuhan usia anak.
“Biaya pendidikan bisa melonjak drastis, ditambah kebutuhan transportasi, akomodasi, hingga perlengkapan sekolah. Ini sering kali tidak sejalan dengan kenaikan upah,” ujarnya.
Gunawan juga menyinggung pengeluaran tak terduga yang semakin sering muncul, mulai dari kebutuhan komunikasi, kendaraan, pendidikan tambahan, hingga musibah seperti sakit atau bencana alam.
“Dengan banyaknya faktor tersebut, tidak heran jika kenaikan upah minimum masih dirasa belum cukup menutup kebutuhan hidup sehari-hari,” pungkasnya.