Anggota Komisi IX DPR Bela Terawan, IDI Bilang Cacat Besar
Kesehatan

Forunterkininews.id, Jakarta- Komisi IX menggelar rapat dengar pendapat umum dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di Gedung DPR, Jakarta Senin, (4/4).
Salah satu hal yang akan dibahas dalam rapat adalah mengenai alasan pemberhentian secara permanen Eks Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dari keanggotaan IDI.
Anggota Komisi IX DPR RI Irma Chaniago dari Fraksi NasDem mencecar Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) perihal pemecatan dr Terawan Agus Putranto.
Baca Juga: <i>Infused Water</i> Minuman Menyegarkan Kaya Manfaat
Politikus NasDem ini menyinggung soal metode Digital Substraction Angiography (DSA) atau terapi cuci otak Terawan yang disebutnya berguna bagi pasien.
Jelas cuci otaknya dokter Terawan itu berguna bagi manusia, berguna bagi pasien," kata Irma.
Menurut dia, banyak pasien yang memberikan testimoni positif. Karena itu, dia menyesalkan ada pemecatan terhadap Terawan.
Baca Juga: Ketahui Jam Aktifnya Nyamuk DBD: 3M, Pakai Lotion Antinyamuk
"IDI enggak mensejahterahkan anggota, orang seenak-enak udelnya saja mecat-mecat anggota," kata Irma.
Dia pun menegaskan, seorang dokter mempunyai sumpah yang harus mendahulukan kepentingan dan keselamatan nyawa manusia. Hal itu yang dilakukan oleh Terawan.
"Saya enggak melihat kesalahan apa yang dilakukan dokter Terawan, harusnya IDI memberikan supporting bagaimana caranya agar DSA itu bisa diterima, disupport, karena enggak ada yang bermasalah dan menyelamatkan, kenapa harus tidak diperbolehkan," kata Irma.
IDI Ungkap Lima Kelemahan dr Terawan
Menanggapi hal itu Prof Rianto Setiabudi dari Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI mengungkap lima kelemahan disertasi dr Terawan Agus Putranto.
"Nah, dengan segala kerendahan hati perkenankanlah saya memberikan sedikit komentar mengenai disertai dr Terawan ini, tidak untuk mendowngrade beliau," ujar Prof Rianto.
"Jadi ada bagian-bagian tertentu dalam disertasi itu yang mengandung kelemahan-kelemahan substansial," tegas dia.
Pertama, terkait penggunaan heparin dalam metode Digital Substraction Angiography (DSA) atau dikenal 'cuci otak'. Metode ini mengharuskan memasukkan kateter dari suatu pembuluh darah di paha sampai ke otak. Setelahnya, di sana dilepaskan kontras.
"Kedua, kontras itu nanti akan menunjukkan di mana letak mampetnya itu. Nah, supaya ujung kateter itu tetap terbuka, diberikanlah sedikit dosis kecil heparin untuk mencegah bekuan darah di ujung kateter," sambung dia.
Ketiga, Prof Rianto menyakini dosis kecil heparin tersebut tidak bisa merontokkan gumpalan darah, hanya bisa mencegah mampetnya bekuan darah. Karenanya, ketika metode ini digunakan masalah yang timbul sangat besar.
"Keempat, pasien yang digunakan ini orang-orang stroke, yang strokenya sudah lebih dari satu bulan, jadi bekuan darah itu sudah mengeras di situ dan tidak mungkin kita cari di literatur manapun bahwa heparin efektif merontokkan, melarutkan bekuan darah seperti itu," terang dia.
Ia menekankan zat lain yang bisa melarutkan bekuan tersebut adalah thrombolytic agents. Itupun hanya akan efektif jika umur bekuan darah baru berkisar beberapa jam. Tidak bisa efektif digunakan pada pengidap stroke lebih dari satu bulan.
Prof Rianto menekankan dalam setiap uji klinis perlu adanya kelompok pembanding untuk memastikan kesahihan riset. Sementara disertasi Terawan tidak memiliki kelompok pembanding tersebut sehingga sulit menyimpulkan kebenaran studi.
"Ini adalah sebuah penelitian yang cacat besar sebetulnya," tandas dia.