Sosial Budaya

Apa Pengertian Riya? Berikut 4 Cara Menghilangkannya

10 Desember 2025 | 09:34 WIB
Apa Pengertian Riya? Berikut 4 Cara Menghilangkannya
Ilustrasi riya. [ftnews-copilot]

Penyakit batin yang kerap menghinggapi hati seorang mukmin adalah riya, yaitu melakukan ibadah dengan tujuan memperoleh perhatian atau pujian dari manusia. Para ulama menegaskan bahwa kondisi ini dapat menggerogoti keikhlasan dan merusak nilai ibadah seseorang.

rb-1

Riya dalam Islam adalah sikap ketika seseorang melakukan ibadah atau amal kebaikan dengan tujuan ingin dipuji atau dilihat manusia. Sikap ini menunjukkan bahwa hatinya tidak benar-benar ikhlas mengharap ridha Allah.

Dalam ajaran Islam, riya digolongkan sebagai syirik kecil karena menjadikan penilaian manusia sebagai tujuan ibadah. Amal yang tercampur riya dapat batal pahalanya, bahkan bisa berubah menjadi dosa jika dilakukan untuk mencari sanjungan.

Baca Juga: Apa Hukum Meninggalkan Salat Jumat Tanpa Alasan Syar’i, Dicap sebagai Kemurtadan?

rb-3

Riya disebut sebagai penyakit “tak kasat mata” karena sulit dideteksi, namun memiliki daya rusak besar terhadap amal saleh. Karena itu, umat Islam diimbau untuk selalu menjaga niat dan menjauhkan diri dari sifat tersebut saat menjalankan ibadah.

Ulama Imam Al-Ghazali di dalam kitab Minhajul Abidin ia menjelaskan, ada 4 pengingat yang bisa dijadikan sebagai cara untuk menghilangkan riya saat beribadah, yakni sebagaimana berikut seperti dikutip dari Hikmah di situs Kementerian Agama:

Baca Juga: Simbol Islam Ditampilkan di Waterbomb Festival Korea, Netizen Geram

1. Menyadari Kekurangan Diri

Posisi salat dalam Islam. (Ftnews-Copilot)Posisi salat dalam Islam. (Ftnews-Copilot)Seorang muslim hendaknya menyadari bahwa dirinya adalah makhluk lemah yang penuh dengan kekurangan. Ketika sudah menyadari kekurangan yang ada dalam diri, tentu saja seorang muslim tidak akan berharap mendapatkan pujian, apalagi hanya dari manusia.

Imam Al-Ghazali kemudian mengutip firman Allah dalam Surat At-Thalaq ayat 12:

اَللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ وَّمِنَ الْاَرْضِ مِثْلَهُنَّۗ يَتَنَزَّلُ الْاَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ەۙ وَّاَنَّ اللّٰهَ قَدْ اَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا

Artinya: “Allahlah yang menciptakan tujuh langit dan (menciptakan pula) bumi seperti itu. Perintah-Nya berlaku padanya agar kamu mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu dan ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu.”

Imam Al-Ghazali menjelaskan, ayat tersebut menjadi peringatan sekaligus teguran dari Allah kepada hamba-Nya. Seakan-akan Allah menegaskan bahwa penciptaan langit, bumi, dan segala isinya sudah cukup menjadi bukti agar manusia menyadari betapa besarnya kekuasaan Allah. Namun kenyataannya, masih saja ada manusia yang mengarahkan amalnya bukan kepada Allah, melainkan kepada makhluk yang sama sekali tidak memiliki kuasa apa pun.

2. Mengingat Kerugian Amal

Imam Al-Ghazali mengingatkan kepada umat Islam bahwa balasan amal atau pahala dari Allah itu sangat besar. Namun semua balasan itu tidak akan diberikan ketika amalnya sudah terinfeksi penyakit riya. Hal ini tentu saja akan menjadi kerugian besar karena amalnya tidak diterima oleh Allah.

Diumpamakan Al-Ghazali, orang yang beribadah namun tercampur riya itu seperti seseorang yang punya perhiasan mewah dan akan dibeli oleh penguasa dengan harga tinggi, namun pemilik perhiasan itu malah memilih menjualnya dengan harga murah kepada orang lain. Hal ini tentu saja akan menimbulkan kerugian yang sangat besar.

Imam Al-Ghazali pun menjelaskan:

فاذا أنت أخلصت النية وجردت الهمة للآخرة حصلت لك الآخرة والدنيا جميعا

Artinya: “Apabila engkau mengikhlaskan niat dan mengarahkan tekadmu untuk akhirat, maka engkau akan memperoleh akhirat sekaligus dunia.” (Imam Al-Ghazali, Minhajul Abidin [Indonesia, Pustaka Islamiyah: t.t], h. 76)

Sebaliknya, jika kita beramal hanya mengharapkan dunia maka balasan untuk akhirat tidak akan didapatkan, bahkan bisa jadi balasan untuk dunia pun tidak akan sesuai harapan. Kalau pun didapatkan, bisa jadi hal itu akan segera hilang. Dalam kondisi seperti ini tentu akan menjadi orang yang rugi karena kehilangan dunia sekaligus akhirat.

3. Tidak Disukai Orang Lain

Ilustrasi muslimah berdoa. (Ftnews-Copilot)Ilustrasi muslimah berdoa. (Ftnews-Copilot)Imam Al-Ghazali mengingatkan, ketika seseorang beribadah namun malah mengharapkan pujian dari orang lain, mungkin saja orang lain tersebut tidak suka dengan ibadah yang sedang dilakukan. Bisa jadi, ketika orang tersebut mengetahui bahwa amal itu ditujukan kepadanya, mungkin saja dia akan memandang hina atau bahkan merasa jijik.

Untuk itu, saat seorang hamba melakukan amal ibadah hendaknya selalu menjaga hati agar tetap fokus karena Allah dan tidak menjadikan manusia sebagai tujuannya.

4. Memilih Rida Allah

Bagi seorang muslim, rida Allah harus dijadikan sebagai prioritas karena rida-Nya jauh lebih utama daripada rida manusia. Dianalogikan Imam Al-Ghazali, rida Allah seperti ridanya seorang raja sedangkan rida manusia seperti ridanya budak yang hina. Ketika seseorang riya dalam beribadah, seolah dia sedang mencari rida budak padahal rida seorang raja sedang menanti.

Tag islam