BEM UI Geruduk DPR 18 November, Tolak RUU KUHAP yang Dinilai Langgar Privasi
Jakarta diprediksi menjadi pusat perhatian pada Selasa, 18 November 2025. Kawasan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diperkirakan dipenuhi massa aksi setelah Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) mengumumkan rencana demonstrasi besar.
Aksi tersebut digelar sebagai bentuk penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang dijadwalkan disahkan pada hari yang sama.
Gerakan ini menjadi sorotan publik, mengingat perdebatan terhadap sejumlah pasal krusial dalam RUU tersebut belum menunjukkan tanda-tanda mereda.
Baca Juga: Rapat di Komisi III DPR, Peradi Usul Penyadapan-Keterangan Ahli Dihapus di RUU KUHAP
Persiapan Aksi dan Rute Longmarch Mahasiswa
Wakil Kepala Departemen Aksi dan Propaganda BEM UI 2025, Bima Surya, menjelaskan bahwa massa mahasiswa akan bergerak sejak pagi dari kampus Universitas Indonesia. Titik kumpul ditetapkan pada pukul 08.00 WIB sebelum longmarch menuju gedung parlemen sekitar pukul 10.00 WIB.
Baca Juga: Soal Pengesahan RUU KUHAP, Habiburokhman: Peluang Batal Disahkan Masih Ada, Ini Penyebabnya
Melalui akun Instagram resmi @bemui_official, BEM UI telah mengeluarkan seruan aksi sekaligus penjelasan mengenai alasan penolakan mereka.
Organisasi mahasiswa tersebut menilai sejumlah ketentuan dalam RUU KUHAP berpotensi mengancam ruang privasi masyarakat dan membuka peluang penyalahgunaan kewenangan aparat penegak hukum.
Selain mahasiswa UI, sejumlah organisasi kampus lain juga tengah melakukan konsolidasi untuk bergabung. Hal ini menunjukkan eskalasi yang semakin luas, bahwa isu RUU KUHAP telah menjadi perhatian lintas kampus dan komunitas sipil.
Kritik soal Kewenangan Aparat dalam Draf RUU KUHAP
Ilustrasi Hukum (Pixabay)
Salah satu poin utama yang disorot mahasiswa adalah perluasan kewenangan aparat dalam proses penegakan hukum. Dalam draf RUU KUHAP, tindakan seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, hingga penyadapan dinilai bisa dilakukan dengan dasar hukum yang terlalu longgar.
BEM UI menilai kondisi ini membuka ruang subjektivitas aparat jika tidak dibarengi mekanisme pengawasan ketat. Kekhawatiran terbesar adalah potensi pelanggaran hak-hak sipil, sesuatu yang bertentangan dengan prinsip negara hukum.
Kritik serupa juga datang dari lembaga HAM, akademisi hukum, hingga kelompok masyarakat sipil. Mereka menilai pembahasan RUU dilakukan tanpa keterlibatan publik yang memadai sehingga tidak mencerminkan proses legislasi yang transparan dan partisipatif.
Desakan Transparansi dan Keterlibatan Publik
Ilustrasi Anggota Dpr (Gemini AI)BEM UI menegaskan bahwa penolakan mereka tidak hanya terkait pasal-pasal tertentu, tetapi juga menyangkut minimnya transparansi penyusunan RUU.
Menurut mereka, pembaruan hukum acara pidana harus menyeimbangkan kepentingan penegakan hukum dengan perlindungan hak-hak sipil.
Aksi 18 November disebut sebagai momentum mendorong DPR membuka ruang diskusi lebih luas. Tekanan publik diharapkan mampu membuat para legislator mempertimbangkan kembali keputusan pengesahan RUU tersebut.
Menjelang hari penetapan, tuntutan agar RUU ditunda atau direvisi semakin keras terdengar. Jika kritik terus meluas, bukan tidak mungkin pemerintah dan DPR membuka kembali ruang dialog demi memastikan hasil legislasi yang lebih berpihak pada masyarakat.