Sosial Budaya

Biang Kerok UKT Mahal dan Belum Berkeadilan

22 Mei 2024 | 00:00 WIB
Biang Kerok UKT Mahal dan Belum Berkeadilan

FTNews – Polemik kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) yang mengundang gelombang protes mahasiswa memasuki babak baru. Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim berjanji meninjau ulang. Namun banyak pihak menilai kenaikan UKT atau UKT mahal ini cermin tak adanya keadilan dan jauh dari prinsip inklusif di dunia pendidikan tinggi.

rb-1

Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji juga menyoroti kehadiran Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH) menjadi biang kerok mahalnya UKT.

“UKT sampai saat ini masih belum berkeadilan dan jauh dari prinsip inklusif,” katanya di Jakarta, Rabu (22/5).

Baca Juga: Pesan Khatib Masjid Istiqlal saat Salat Id Bersama Jokowi-Ma’ruf

rb-3

Meski lanjutnya ada klaim dari Mendikbudristek kalau hal itu sudah mengedepankan asas keadilan dan inklusivitas nyatanya hanya klaim semata.

“Pernyataan ini hanya klaim sepihak dan sangat mudah dipatahkan. Kalau prinsip tersebut sudah terpenuhi, tentu tarif UKT tidak akan mengundang polemik seperti saat ini,” ucapnya.

Faktanya mahasiswa masih turun ke jalan menuntut keadilan soal tarif UKT yang mereka anggap menyengsarakan.

Baca Juga: Kenaikan Yesus Kristus, Menag: Rajut Kebersamaan dalam Keragaman

Dari rapat kerja Komisi X DPR RI dengan Mendikbudristek dan jajarannya, JPPI menyoroti sejumlah hal. JPPI mengapresiasi Nadiem Makarim membuka ruang mahasiswa bersuara. Namun di sisi lain ia pun harus memanggil pimpinan kampus yang melakukan kriminalisasi dan intimidasi kepada mahasiswa yang mengkritisi kenaikan UKT tersebut.

Hal lainnya, permintaan Komisi X DPR dan tuntutan mahasiswa untuk mencabut Permendikbud No 2 Tahun 2024 tidak Kemendikbudristek kabulkan. Menteri Nadiem hanya berjanji akan mengkaji bukan tegas mencabutnya.

Dua mahasiswa tampak bercengkrama keluar dari gedung kampus. Foto: Freepik

Dasar Kenaikan UKT

Padahal lanjut Ubaid, peraturan itu menjadi dasar kenaikan UKT. Kemendikbudristek malah berdalih bahwa tarif Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) sudah Kemendikbudristek tetapkan dan sesuai dengan kemampuan mahasiswa.

Kenyataannya SSBOPT ini jadi dasar oleh kampus-kampus untuk menaikkan tarif. “Jadi persoalan ini masih ruwet, masing-masing pihak saling lempar bola panas,” imbuh Ubaid.

JPPI menilai mahalnya UKT ini nyatanya berdampak pada mahasiswa baru dan juga lama. Meski beberapa kali Menteri Nadiem menegaskan kenaikan UKT hanya untuk mahasiswa baru.

Gara-gara UKT mahal lanjutnya, tidak hanya mahasiswa miskin yang terdampak, tapi mahasiswa dari keluarga kelas menengah juga mengalami kelimpungan dan kesulitan bayar.

Kalau menilik data total penerima KIP Kuliah hingga 2024, data penerima sebanyak 985.577 mahasiswa. Sementara, jumlah mahasiswa yang sedang kuliah terdapat sekitar 9,32 juta mahasiswa (data tahun 2022). Jadi, penerima KIP Kuliah perkiraannya di kisaran angka 10 persen, tidak sampai pada batas minimal 20 persen.

Selain itu, Kemendikbudristek tidak memberikan skema bantuan dan jaminan keterjangkauan biaya UKT bagi kelompok ekonomi menengah ini.

Sementara itu status PTNBH sama sekali tidak menguntungkan mahasiswa, justru biang kerok membumbungnya UKT di kampus-kampus negeri.

“PTNBH yang diperbolehkan melakukan kegiatan bisnis profit. Dan dicabutnya sebagian besar porsi peran pembiayaan dari pemerintah, ini jelas mengakibatkan UKT menjadi kian tak terjangkau,” tandas Ubaid.

Tag Mahasiswa Sosial Budaya JPPI Mendikbudristek UKT