'Jenderal' Ditangkap, Negara Kekaisaran Sunda Nusantara Tuntut Ganti Rugi Rp 5 Triliun
Daerah

Polres Cianjur, Jawa Barat, telah menangkap empat orang berinisal adalah H (54), M (42), R (41), dan O (41).
Mereka semua mengaku warga Negara Kekaisaran Sunda Nusantara, yang sebetulnya adalah sindikat pemalsu Surat Tanda Nomor Kendaraan atau STNK.
H sendiri mengklaim dirinya sebagai Jenderal Muda di Kekaisaran Sunda Nusantara.
Baca Juga: Jalan Utama di Wilayah Selatan Cianjur Masih Terputus
Anehnya, Kekaisaran Sunda Nusantara sendiri menuntut ganti rugi Rp 5 triliun kepada Polres Cianjur, Jawa Barat, karena telah menangkap salah satu jenderalnya.
Para pelaku mengklaim bahwa mereka mendapat perlindungan dari Kekaisaran Majelis Agung Sunda Archipelago (M.A.S.A).
“Mereka mengaku memiliki pemerintahan sendiri, serta kekuasaan dan wewenang untuk menerbitkan berbagai dokumen, termasuk STNK palsu ini,” tutur Kepala Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Cianjur, AKP Tono Listianto, Selasa (11/3/2025).
Baca Juga: Gempa Cianjur, PNS Balaikota Turun dari Lantai 18 Melalui Tangga Darurat
Setelah para tersangka diamankan, kata Tono, tersangka mengirimkan surat keberatan ke Polres Cianjur dan menuntut ganti rugi sebesar Rp 5 triliun karena jenderal mereka ditangkap.
Polisi Sita Barang Bukti
Barang bukti yang telah diamankan polisi terdapat alat cetak, dokumen terkait klaim kekaisaran, serta STNK palsu dengan logo kekaisaran menggantikan lambang resmi Kepolisian RI.
Selain itu, mereka juga mengklaim sudah mengirim surat tembusan ke berbagai negara dan mengancam akan membubarkan NKRI.
Tak cuma itu, Tono mengatakan sindikat ini menebar ancaman akan menjadikan Jakarta seperti Nagasaki dan Hiroshima apabila tuntutan tidak dituruti.
Sindikat penipuan STNK palsu yang dijalankan mereka sudah beroperasi lima tahun dan diperkirakan sudah meraup keuntungan miliaran rupiah.
Untuk biaya pembuatan STNK palsu yang mereka buat antara Rp 1,5 juta hingga Rp 2,5 juta.
Para tersangka terancam dijerat Pasal 263 Ayat 2 KUHP tentang pemalsuan surat, dengan ancaman hukuman maksimal tujuh tahun penjara.