Kronologi Rakyat Korea Selatan Marah dan Menolak Keras Darurat Militer
Politik

Penetapan status darurat militer di Korea Selatan oleh Presiden Yoon Suk Yeol pada Selasa (3/12) malam waktu setempat menuai amarah publik di negeri ginseng itu. Pasalnya, banyak warga di Korea Selatan yang menolak status ini.
Dikutip dari New York Times, Sabtu (7/12), masyarakat melakukan demo besar-besaran di depan Gedung Majelis Nasional Korea Selatan dalam rangka mendesak Yoon Suk Yeol untuk mundur dari kursi presiden dan mendesak militer Korea Selatan untuk menangkapnya.
“Tangkap Yoon Suk Yeol,” teriak para demonstran.
Baca Juga: Mengenal Kota Muan, Tempat Pesawat Jeju Air Jatuh dan Terbakar
Sementara itu, di tepi Lapangan Gwanghwamun, pusat kota Seoul, juga terjadi hal yang sama. Di sana, ada beberapa orang memegang poster yang menyerukan pengunduran diri Presiden Yoon Suk Yeol.
Dampak dari protes ini, Presiden Yoon Suk Yeol akhirnya memutuskan untuk mencabut status darurat militer di Korea Selatan pada Rabu (4/12) pagi waktu setempat.
Pencabutan status darurat militer itu dilakukan setelah Yoon Suk Yeol mengumpulkan anggota kabinetnya dan menyetujui desakan Majelis Nasional melalui voting untuk membatalkan darurat militer.
Baca Juga: Demi Keselamatan Konser Musik NCT 127, Polisi Perketat Keamanan
Pengamat Hubungan Internasional Universitas Diponegoro, Aniello Ello Lannone mengatakan, penolakan darurat militer oleh masyarakat Korea Selatan dikarenakan sejarah masa lalu di negara tersebut.
Pada tahun 1980-an, rezim otoriter Korea Selatan di bawah tampuk kepemimpinan Chun Doo Hwan pernah menetapkan status darurat militer di tengah ketegangan negara ini dengan Korea Utara. Penetapan status darurat militer Korea Selatan pada saat itu adalah yang pertama terjadi.
Akan tetapi, status darurat militer di Korea Selatan saat itu justru digunakan sebagai alat untuk mengekang kebebasan publik. Dengan kata lain, Korea Selatan menjadikan status darurat militer itu untuk membuat warga tunduk terhadap keputusan pemerintah.
Saat itu, warga Korea Selatan melakukan pemberontakan di Kota Gwangju karena muak atas kekangan pemerintah. Pemberontakan ini dilakukan dalam rangka mengubah Korea Selatan menjadi negara yang lebih demokratis.
Peristiwa itu dikenal dengan nama Pemberontakan Gwangju yang menjadi salah satu catatan sejarah negara Korea Selatan. Pasalnya, pemberontakan ini menewaskan ratusan jiwa.
Kenangan inilah yang akhirnya menyebabkan trauma yang mendalam bagi warga Korea Selatan ketika Presiden Yoon Suk Yeol menetapkan status darurat militer. Warga Korea Selatan khawatir peristiwa serupa layaknya tragedi Gwangju terulang kembali di masa ini.
Selain faktor sejarah, ada juga alasan lain yang dinilai membuat warga Korea Selatan melakukan aksi demonstrasi menolak status darurat militer.
Status darurat militer yang ditetapkan Presiden Yoon Suk Yeol bukan bertujuan untuk mengamankan Korea Selatan dari ancaman Korea Utara. Namun, cenderung lebih bertujuan untuk mengamankan kekuasaannya sebagai Presiden di Korea Selatan.
Pasalnya, belakangan diketahui Presiden Yoon Suk Yeol sering terlibat beberapa kasus skandal kontroversial yang membuat kepercayaan publik Korea Selatan terhadapnya menurun drastis.
Oleh karena itu, status darurat militer ini ditetapkan agar Yoon Suk Yeol dianggap sebagai pahlawan negara yang ingin mengamankan Korea Selatan dari ancaman komunis dan ancaman Korea Utara. Motif inilah yang kemudian membuat warga Korea Selatan marah dan menolak status darurat militer.
Pandangan ini diperkuat oleh para pemimpin oposisi dan bahkan tokoh-tokoh di dalam partai Yoon Suk Yeol sendiri yang mengkritik langkah tersebut sebagai inkonstitusional, memperkuat ketidakpercayaan publik terhadap niat presiden.
Kemarahan publik sebagai imbas penetapan status darurat militer Presiden Yoon Suk Yeol ini kemungkinan akan menyebabkan berbagai efek lanjutan. Di antaranya adalah potensi kudeta.
Yoon Suk Yeol berpotensi dikudeta oleh masyarakat Korea Selatan dari kursi kepresidenan. Apalagi, warga Korea Selatan juga sudah melakukan demo besar-besaran di kantor Majelis Nasional untuk mendesak sang presiden segera mundur.
Namun, Aniello Ello Iannone memiliki pandangan yang berbeda mengenai hal ini. Ia mengatakan, penolakan warga Korea Selatan terhadap status darurat militer tidak akan menyebabkan kudeta di Korea Selatan.
Sebab, masyarakat Korea Selatan saat ini lebih demokratis dan mementingkan jalan musyawarah daripada konfrontasi untuk mencapai sebuah konsesi.
Aniello Ello Iannone menjelaskan bahwa keputusan Presiden Yoon Suk Yeol menetapkan status darurat militer di Korea Selatan tidak akan menyebabkan ia digulingkan. Apalagi, saat ini ia juga telah mencabut status darurat militer di negara tersebut.
Akan berbeda jika Presiden Yoon Suk Yeol tidak mencabut status tersebut. Maka, bisa saja pihak oposisi memakzulkan Yoon Suk Yeol secara paksa dari kursi presiden.
“Menurut Pasal 77 Konstitusi Korea Selatan, presiden wajib mencabut darurat militer atas permintaan mayoritas parlemen, seperti yang terjadi beberapa jam setelah pernyataan Yoon,” jelas Aniello Ello Lannone.