Profil BCA, Bank Swasta Indonesia yang Diterpa Kasus Pembobolan Rp70 Miliar

Ekonomi Bisnis

Minggu, 14 September 2025 | 21:26 WIB
Profil BCA, Bank Swasta Indonesia yang Diterpa Kasus Pembobolan Rp70 Miliar
Logo BCA. (wikipedia)

Bank Centra Asia (BCA) diterpa kasus dugaan pembobolan sebesar Rp70 miliar. Korban menimpa korporasi PT Panca Global Sekuritas yang melaporkan Rekening Dana Nasabah (RDN) di BCA terjadi penarikan dana secara berulang dengan durasi singkat.

rb-1

PT Panca Global Sekuritas telah melaporkan dugaan pembobolan dana nasabah korporasi tersebut ke Otoritas Jasa Keuangan atau OJK. Adanya aktivitas mencurigakan pada rekening khusus bagi investor dan perusahaan sekuritas itu terjadap pada 9 September 2025.

Sebagai informasi, BCA merupakan salah satu bank swasta terbesar di Indonesia dengan jumlah nasabah yang sangat besar serta jaringan layanan yang luas di seluruh wilayah tanah air.

Baca Juga: Daftar M-BCA Lewat ATM, Nikmati Fitur Mobile Banking BCA Lengkap

rb-3

Sebagai bank dengan nilai kapitalisasi pasar tertinggi di sektor perbankan Indonesia, BCA menempati posisi penting dalam industri keuangan nasional dan dikenal sebagai bank dengan tingkat kepercayaan serta stabilitas yang kuat di antara bank-bank lain.

Profil BCA

Pegawai BCA. (bca)Pegawai BCA. (bca)BCA adalah bank swasta terbesar di Indonesia. Bank ini didirikan pada 21 Februari 1957 dan pernah menjadi bagian penting dari Grup Salim.

Baca Juga: Viral! Pernyataan Wakil Presiden Direktur BCA Soal Bahaya Kripto

Sekarang bank ini dimiliki oleh salah satu grup produsen rokok terkemuka di Indonesia, Djarum. Perusahaan Djarum adalah perusahaan rokok terbesar di Indonesia yang berbasis di Kudus, Jawa Tengah.

BCA awalnya berdiri pada 10 Agustus 1955 sebagai perusahaan tekstil bernama NV Perseroan Dagang dan Industrie Semarang Knitting Factory. Setahun kemudian, pada 12 Oktober 1956, perusahaan ini berubah menjadi bank dengan nama NV Bank Asia, lalu resmi beroperasi sebagai PT Bank Centraal Asia pada 21 Februari 1957.

Pada akhir 1950-an, bank ini diambil alih oleh pengusaha Liem Sioe Liong dan Tan Lip Soin, kemudian kantor pusatnya dipindahkan ke Jakarta. Sejak saat itu, BCA menjadi bagian dari jaringan bisnis Salim Group, bersamaan dengan bank pertama Liem, Bank Windu Kentjana.

Pada awal 1970-an, BCA masih tergolong bank kecil dengan aset Rp998 juta dan hanya dua kantor cabang. Perubahan besar dimulai saat Liem mengajak Mochtar Riady masuk pada 1975, yang kemudian memperkuat manajemen dan menjadikan bisnis Salim Group sebagai basis nasabah, dengan logo cengkih diperkenalkan sejak 1977.

Kepemilikan Saham BCA

QRIS BCA. (bca)QRIS BCA. (bca)Seiring perkembangannya, BCA melakukan merger dengan Bank Sarana Indonesia (1973), Bank Gemari (1976), dan PT Indo-Commercial Bank (1979). Melalui merger tersebut, BCA akhirnya menjadi bank devisa pada 28 Maret 1977, yang memperluas ruang geraknya dalam industri perbankan nasional.

Inovasi penting hadir pada 1979 dengan peluncuran BCA Card, kartu kredit internasional pertama di Indonesia bekerja sama dengan Mastercard. Selain itu, pada 1987 BCA memperkenalkan kartu ATM dan jaringan mesin ATM, menjadikannya pelopor layanan transaksi modern di tanah air.

Pada era 1980-an hingga awal 1990-an, aset BCA melonjak tajam, dari Rp24,8 miliar pada 1976 menjadi Rp1 triliun pada 1986. Meski menghadapi tantangan, seperti pengeboman cabang pada 1984 dan kerugian akibat kasus valas 1986, BCA tetap mampu berkembang pesat.

Puncak pertumbuhan terjadi setelah Paket Kebijaksanaan Oktober 1988 (Pakto 88), saat BCA meluncurkan produk unggulan Tabungan Hari Depan (Tahapan). Jumlah cabang melonjak drastis dari 50 pada 1988 menjadi lebih dari 300 pada 1990-an, dan pada 1995 BCA telah memiliki 450 cabang termasuk di luar negeri, dengan aset Rp43,4 triliun menjelang 1997.

Kepemilikan Salim Group dalam BCA harus berakhir akibat krisis moneter 1997–1998 yang memicu rush besar-besaran dan membuat bank ini goyah. Pemerintah kemudian mengambil alih BCA pada 28 Mei 1998, menempatkannya di bawah pengawasan BPPN dan menyuntikkan BLBI serta obligasi rekapitalisasi untuk menyelamatkan bank tersebut.

Setelah menjadi pemegang saham mayoritas 92,8%, pemerintah melepas sebagian saham BCA ke publik melalui Bursa Efek Jakarta pada 2000 dan 2001. Pada 15 Maret 2002, konsorsium Farindo Investment (Mauritius) Limited yang dipimpin Farallon Capital dan melibatkan Grup Djarum resmi memenangkan tender 51% saham BCA dengan nilai Rp 5,3 triliun.

Divestasi saham BCA menandai berakhirnya dominasi Salim Group dan munculnya pemegang saham baru yang membawa stabilitas bagi bank ini. Sejak saat itu, BCA berkembang pesat menjadi salah satu bank swasta terbesar dan paling terpercaya di Indonesia hingga era sekarang.

Tag bca profil bca pembobolan bca

Terkini