Puan Maharani: Pemerintah Harus Bergerak Cepat Hadapi Ancaman Virus Hanta
Nasional

Ketua DPR RI, Puan Maharani, menyoroti kemunculan kasus virus Hanta tipe Haemorrhagic Fever with Renal Syndrome (HFRS) yang ditemukan di berbagai daerah Indonesia.
Ia meminta pemerintah segera mengambil langkah nyata agar virus yang ditularkan dari tikus ini tidak berkembang menjadi ancaman nasional.
“Virus Hanta belum menyebar luas, tetapi justru karena itu kita perlu sigap. Fokusnya bukan sekadar respons darurat, tetapi membangun sistem deteksi dini dan penanganan medis hingga ke tingkat desa,” ujar Puan kepada wartawan pada Rabu (2/7/2025).
Baca Juga: DPR Soroti Permasalahan Kasus Hepatitis Akut
Delapan Kasus HFRS Terdeteksi: Daerah Terdampak Termasuk Yogyakarta dan NTT
Virus Hanta tipe Haemorrhagic Fever with Renal Syndrome (HFRS), virus yang ditularkan dari tikus. [Instagram]Berdasarkan laporan resmi, delapan kasus HFRS ditemukan dalam periode 15–21 Juni 2025.
Wilayah yang terdampak antara lain Yogyakarta, Jawa Barat, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Baca Juga: Indonesia Finis Ketiga SEA Games, Puan Beri Ucapan Selamat
Virus ini ditularkan melalui kontak dengan cairan atau udara yang terkontaminasi oleh tikus yang membawa virus Hanta.
Penularan yang bersumber dari hewan pengerat menjadikan penyakit ini masuk dalam kategori zoonosis, yakni penyakit menular dari hewan ke manusia yang berpotensi menimbulkan wabah jika tidak ditangani secara serius.
Menurut Puan, respons terhadap penyebaran virus Hanta di Indonesia harus dimulai dengan memperkuat deteksi dini di level paling bawah.
Ia menekankan pentingnya kesiapan fasilitas kesehatan primer seperti Puskesmas dan klinik daerah dalam menghadapi potensi wabah ini.
"Pemerintah harus menyediakan alat rapid test berbasis molekuler secara merata, terutama di daerah padat penduduk, dekat pasar tradisional, dan zona pertanian," tegasnya.
Pelatihan Tenaga Medis dan Edukasi Masyarakat Tidak Boleh Diabaikan
Ketua DPR RI, Puan Maharani. [Instagram]Puan juga menyoroti kurangnya kapasitas tenaga medis dalam mengenali gejala penyakit baru seperti HFRS.
Ia meminta adanya pelatihan wajib bagi petugas kesehatan, khususnya yang bertugas di daerah rawan.
"Gejala virus ini sering kali tidak dikenali dan dianggap penyakit biasa. Maka, edukasi kepada masyarakat juga penting agar mereka paham risiko dan tidak menunda pengobatan," ujarnya.
Edukasi yang dimaksud, lanjut Puan, harus dilakukan langsung ke lapangan, tidak hanya lewat media.
"Sosialisasi perlu menyasar pasar, lahan pertanian, dan kampung-kampung yang dekat habitat tikus," kata dia.
Lingkungan Kotor dan Sampah Menjadi Sumber Masalah: Butuh Pendekatan Lintas Sektor
Virus Hanta tipe Haemorrhagic Fever with Renal Syndrome (HFRS), virus yang ditularkan dari tikus. [Instagram]Lebih lanjut, Puan menekankan bahwa penanganan virus dari tikus seperti Hanta harus menyentuh akar persoalan, yaitu lingkungan yang kotor dan sanitasi buruk.
"Populasi tikus meningkat karena sanitasi yang buruk dan permukiman yang tumpang tindih dengan habitat hewan pengerat. Ini bukan hanya urusan kesehatan, tapi juga urusan kebersihan, tata kota, dan ketahanan lingkungan," ungkapnya.
Puan menyarankan agar pemerintah menyusun indikator lintas sektor, misalnya penurunan jumlah tikus di kawasan padat dan peningkatan sanitasi publik sebagai tolok ukur keberhasilan penanganan.
Menutup pernyataannya, Puan menegaskan bahwa pemerintah harus tampil aktif, bukan menunggu wabah meluas baru bertindak.
"Virus Hanta tidak bisa ditangani secara pasif. Negara harus hadir secara konkret melalui sistem medis yang responsif, edukasi publik yang menyentuh, dan perbaikan lingkungan secara menyeluruh," katanya.
Dengan langkah cepat dan pendekatan terpadu, Indonesia diharapkan dapat mencegah penyakit HFRS agar tidak berubah menjadi wabah yang membebani sistem kesehatan nasional.