Tak Jadi Sampah Plastik, Sedotan Pati Sagu Bisa Dikonsumsi
Teknologi

FTNews, Jakarta – Setiap hari ada 93,2 juta batang sedotan yang masyarakat Indonesia pakai. Semuanya akan berakhir menjadi sampah, mengancam lingkungan dan Bumi. Melihat kenyataan ini, Pusat Riset Agroindustri Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) berinovasi, memberi "wajah baru" pati sagu sebagai sedotan yang bisa dikonsumsi (sago edible drinking straw).
Perekayasa ahli utama Pusat Riset Agroindustri BRIN Harianto mengatakan, inovasi ini punya semangat dan tujuan memanfaatkan potensi sagu di Indonesia. Sekaligus juga mengurangi timbulan sampah sedotan plastik. Sebab sampah plastik sulit terurai ke lingkungan.
“Sagu menjadi keunggukan komperatif kita. Di luar negeri tidak ada tapi unggulan ada di Indonesia,†katanya kepada FTNews, di Jakarta, Kamis (30/11).
Baca Juga: Kominfo Berantas Judol Hingga 10 Ribu Konten Setiap Hari
Ia menambahkan, dulu sagu banyak dimanfaatkan untuk produksi soun. Sekarang menurun dan banyak masuk soun impor ke Indonesia.
Berbeda dengan beberapa negara yang juga membuat sedotan edible. Sejak tahun 2019 BRIN tertarik menggunakan sagu. Sementara itu Korea dan Vietnam membuatnya dari tepung beras. Hanya saja di Indonesia tepung beras kurang tepat karena kebutuhannya tinggi untuk bahan pokok.
Potensi sagu Indonesia menyumbang sekitar 50 persen stok sagu dunia, dengan luas tanaman sebanyak 5,5 juta hektare (ha). Selain itu, sagu Indonesia memiliki potensi produksi pati sagu sebanyak 41,25 juta ton per tahun.
Baca Juga: Pusat Data Menjamur, Kebutuhan Listrik Akan Meningkat
Sedotan pati sagu. Foto: BRIN
Sedotan Pati Sagu Aman Dikonsumsi
Harianto menjelaskan, pembuatan sedotan ini sebenarnya tidak terlalu rumit. Pati sagu dicampur dengan bahan pembantu. Masuk proses perebusan, pemanasan. Setelah mencapai titik pregelatinasi dilanjutkan dengan ekstrusi atau dimasukkan extruder.
“Bahan pembantu ini adalah bahan untuk memperbaiki sifat plastisitas (kelenturan),†ucapnya.
Kemudian adonan tadi didorong dengan ulir dan keluar melalui cetakan. Begitu keluar diterima oleh conveyor belt yang panjang. Menjadi pipa panjang kemudian dipotong-potong seukuran sedotan.
Saat ini, sedotan inovasi BRIN mampu bertahan di air putih dingin atau mineral lebih dari satu jam.
“Percobaan yang kami lakukan tahan di air dingin lebih dari satu jam. Kemudian kalau air panas atau hangat belum jadi fokus riset kami,†imbuhnya.
Tahap berikutnya Harianto pun sedang menguji ketahanan sedotan di air dingin dengan kondisi asam, minuman susu atau kopi. “Apakah ada efeknya tapi masih pencobaan,†ucapnya.
Untuk rasa dari sedotan lanjutnya bisa saja ditambahkan di tahap berikutnya. Tapi yang jelas, ia masih fokus pada bahan dasar.
Fokus tersebut bisa membuat cetakan menarik, kuat, lurus dan juga cukup putih, bersih tidak kusam. Masa simpan sedotan pun kuat satu tahun.
“Selama ini kami berharap dan menargetkan untuk diproduksi di industri. Selama ini sudah ada komunikasi dengan industri sedotan tapi ini baru tahapan komunikasi. Belum ada komitmen resmi untuk rencana produksi,†tuturnya.
Harapannya jika sedotan juga mengantongi hak kekayaan intektual barulah masuk ke ranah komersialisasi industri.
BRIN pun berharap inovasi ini masyarakat gunakan. Mendukung misi utama BRIN mengatasi cemaran dari limbah sedotan plastik yang selama ini menjadi beban dan masalah lingkungan.
Potensi sagu pun dari pemanfaatan ini terus terkerek. Petani dan produsen menikmati kenaikan omzet produksi. Dengan begitu tercipta ketahanan ekonomi nasional berbasis bahan baku dalam negeri.
Inovasi Ramah Lingkungan
Pengamat Lingkungan dari Universitas Indonesia Mahawan Karuniasa menyambut baik inovasi produk ramah lingkungan ini.
Sedotan plastik menyumbang sampah plastik. Jika 93,2 juta sedotan plastik tadi disusun panjangnya mencapai 117.449 kilometer. Barisan sampah ini setara dengan tiga keliling Bumi. Per tahun sampah plastik di Indonesia bisa mencapai 1,29 juta ton.
“Penelitian ini perlu ada perhatian lanjutan. Bagaimana meningkatkan skala sedotan. Apakah mampu mengejar produksi, mudah diakses. Lalu tersedia di mana saja. Mudah dibeli beserta harganya,†kata Mahawan.
Direktur Environment Institute ini menyebut, produk ramah lingkungan biasanya harganya akan lebih mahal. Ada premium cost. Perlu kesadaran masyarakat untuk mempertimbangkan membeli produk ramah lingkungan.
Di sisi lain, zaman dulu mengonsumsi minuman tanpa sedotan. Inovasi ini harapannya mengubah perilaku penggunaan sedotan plastik. Namun bukan untuk mempertahankan kebiasaan memakai sedotan.
Sampah sedotan plastik mencemari lingkungan. Foto: Istimewa
Jangan Jadi Sampah Plastik
Kasubdit Tata Laksana Produsen Direktorat Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ujang Solihin Sidik menilai kalau terbukti secara ilmiah bisa dimakan dan aman bagi kesehatan menurutnya itu opsi yang baik.
“Dengan catatan harus dipakai harus langsung dimakan hingga tidak lagi menjadi sampah,†tandasnya.
Project Manager River Cleanup Indonesia Egar Anugrah pun mengapresiasi inovasi sedotan dengan material organik ini. Berkonsep zero waste dan edible.
“Yang perlu kami ingatkan jika sudah berbahan ramah lingkungan, kemasannya juga harus ramah lingkungan. Pendistribusiannya juga jangan meninggalkan jejak karbon,†tandas Egar.