Bertemu Menteri LHK Norwegia, Jokowi Bahas Diskriminasi Sawit
Nasional

FTNews - Di Istana Merdeka, Jakarta, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerima tamu dari Norwegia, yaitu Menteri Iklim dan Lingkungan Hidup Andreas Bjelland Erikson, Minggu (2/6). Dalam pertemuan ini, mereka membicarakan tentang kerja sama kedua negara untuk menanggulangi perubahan iklim. Salah satunya topiknya adalah diskriminasi sawit.
Presiden Jokowi tidak sendirian. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya dan Menteri Keuangan Sri Mulyani juga turut menemani sang presiden dalam pertemuan ini.
Saat ini, Indonesia berusaha berusaha untuk mencapai target Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink untuk tahun 2030 terkait penggunaan hutan dan lahan. “Sasaran utamanya adalah FOLU Net Sink 2030,†ucap Menteri LHK setelah mendampingi Presiden Jokowi.
Baca Juga: Leg Kedua Piala AFF, Indonesia- Singapura Sama Kuat
“Dan tadi diceritakan sudah ada juga dukungan konkret atau kontribusi sebagai prestasi atas aksi iklim Indonesia sebesar $156 juta. Itu kira-kira setara dengan karbon 30,2 juta ton,†lanjutnya.
Dalam kesempatan ini juga, Presiden Jokowi meminta kesepemahamannya kepada Norwegia untuk tidak melakukan diskriminasi minyak sawit di Indonesia. Ia menyampaikan bahwa penanganan Indonesia dalam masalah minyak sawit sudah baik.
Diskriminasi Sawit
Baca Juga: Diundang di Penutupan Munas Golkar, Jokowi Bakal Ditunjuk Jadi Ketum Baru?
Kelapa sawit. Foto: canva
Pada 9 Desember 2019, Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag), mengajukan gugatan kepada Uni Eropa (UE). Gugatan ini melalui Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Jenewa, Swiss, melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Menurut Kemendag, gugatan ini adalah bentuk keseriusan Pemerintah Indonesia dalam menangani diskriminasi melalui kebijakan RED II dan Delegated Regulation. “Kebijakan-kebijakan tersebut dianggap mendiskriminasi produk kelapa sawit karena membatasi akses pasar minyak kelapa sawit dan biofuel berbasis minyak kelapa sawit. Diskriminasi dimaksud berdampak negatif terhadap ekspor produk kelapa sawit Indonesia di pasar UE,†tulis mereka dalam PTRI.
Pada tahun 2023, Pemerintah UE mengesahkan peraturan Deforestation-Free Regulation (EUDR). Mereka melarang masyarakatnya untuk menggunakan produk-produk hasil dari deforestasi dan perubahan lahan hutan.Â
Komoditas yang berkaitan erat dengan deforestasi adalah peternakan, coklat, kopi, karet, kedelai, kayu, dan juga minyak sawit. Hal ini bertujuan untuk melawan berkurangnya hutan-hutan di dunia akibat alih fungsi lahan yang menjadi salah satu penyebab pemanasan global.
Tidak Efektif
Ilustrasi sawit/foto: bprphm
Berdasarkan pengamatan dari Center for Strategic and International Studies (CSIC), kebijakan yang diskriminasi sawit ini tidaklah efektif. Permasalahannya, saat ini Indonesia masih termasuk ke dalam kategori negara berkembang. Sehingga, minyak sawit menjadi salah satu sumber pemasukan penting bagi negaranya.
Indonesia saat ini menjadi penghasil minyak sawit dan biodiesel terbesar di dunia. Sehingga, kebijakan EUDR ini malah meretakan hubungan antara Indonesia dengan Uni Eropa.