Hadir di Resepsi Namun Tak Diundang, Begini Cara Islam Menyikapinya
Lifestyle

Di era media sosial seperti sekarang, kabar pernikahan kerap menyebar lebih cepat daripada undangan resmi sampai ke tangan tamu.
Terkadang, seseorang baru mengetahui bahwa temannya menikah melalui unggahan Instagram, bukan dari undangan langsung. Dalam situasi seperti ini, tak sedikit orang merasa kecewa atau tersinggung karena merasa tidak dianggap penting dalam momen sakral tersebut.
Namun penting untuk diingat, keputusan tidak mengundang seseorang ke pernikahan bisa dipengaruhi banyak hal. Mulai dari keterbatasan anggaran, kapasitas tempat, hingga pertimbangan relasi prioritas.
Baca Juga: Simbol Islam Ditampilkan di Waterbomb Festival Korea, Netizen Geram
Dalam konteks ini dikutip dari nu.co.id, dijelaskan bahwa rasa terluka memang wajar, tetapi bagaimana seharusnya kita merespons secara dewasa dan tidak memperburuk hubungan?
Hukum Menghadiri Undangan Pernikahan dalam Islam
Sebelum membahas lebih jauh tentang perasaan kecewa karena tidak diundang, ada baiknya memahami bagaimana Islam memandang soal menghadiri undangan pernikahan. Dalam sebuah hadits riwayat Muslim, Rasulullah bersabda:
Baca Juga: Apa Itu Sayyidul Ayyam dalam Islam? Alasan Mengapa Hari Jumat Dimuliakan
"Jika salah seorang di antara kalian diundang ke walimah (pesta pernikahan), maka hendaklah ia datang." (HR Muslim)
Imam An-Nawawi dalam kitab Syarah Muslim menegaskan bahwa perintah ini menunjukkan kewajiban menghadiri undangan, meski para ulama berbeda pendapat mengenai apakah kewajiban ini bersifat mutlak atau anjuran.
Dalam mazhab Syafi’i, menghadiri undangan walimah dianggap sebagai fardhu ‘ain (kewajiban individu), selama tidak ada uzur syar’i atau hambatan yang sah.
Jika seseorang mendapatkan undangan lalu menolak tanpa alasan yang dibenarkan, maka ia dianggap berdosa. Namun jika tidak mendapat undangan, maka tak ada kewajiban untuk hadir.
Hal ini sesuai dengan kaidah ushul fiqih yang menyatakan bahwa kewajiban tersebut bersyarat dalam hal ini, syaratnya adalah adanya undangan.
Tak Diundang, Apa Harus Datang?
Ilustrasi tamu pernikahan (Pixabay)
Penjelasan hukum di atas mengisyaratkan bahwa tanpa adanya undangan, kewajiban menghadiri walimah gugur. Kata "jika diundang" adalah syarat, sedangkan "maka hendaklah ia datang" adalah akibat. Maka, jika syaratnya tidak terpenuhi, tidak ada implikasi hukum untuk hadir.
Ini selaras dengan pandangan Imam Al-Ghazali dalam Al-Mustashfa, yang membedakan antara sebab dan syarat dalam penetapan hukum syar’i.
Meski demikian, dalam praktik sosial masyarakat kita, kedekatan emosional atau hubungan keluarga sering kali membuat orang merasa “diundang secara otomatis” meski tanpa undangan fisik.
Di sinilah adat atau ‘urf memainkan peran penting dalam interpretasi norma. Namun, walaupun merasa dekat, bukan berarti kita berhak memaksakan diri hadir. Batasan teknis seperti keterbatasan kursi atau protokol keluarga tetap harus dihormati.
Menjaga Perasaan, Menjaga Hubungan
Ilustrasi undangan pernikahan (Pixabay)
Alih-alih larut dalam kekecewaan atau berprasangka buruk, sebaiknya kita menanggapi situasi ini dengan adab dan husnuzan. Tidak diundang bukan berarti tidak dihargai. Mungkin ada pertimbangan pribadi atau teknis yang membuat kita tidak masuk dalam daftar tamu.
Lebih bijak jika kita tetap mengucapkan selamat dan mendoakan kebahagiaan pasangan yang menikah. Dalam banyak kasus, sikap yang dewasa dan tidak reaktif justru akan mempererat silaturahmi. Bahkan, bisa jadi kehadiran doa yang tulus lebih berarti daripada sekadar datang ke resepsi.
Dan yang tak kalah penting: jangan ukur nilai hubungan hanya dari selembar undangan. Hubungan sejati diuji justru saat kita tidak dilibatkan secara langsung. Apakah kita tetap mendoakan? Tetap menjaga hati? Di situlah kedewasaan dan ketulusan diuji.