Ini Pasal-pasal yang Jadi Sorotan dalam RUU Polri, dari Pengawasan Siber sampai Pam Swakarsa
Nasional

Dewan Perwakilan Rakyat tengah mempersiapkan pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri).
Komisi III DPR RI menyatakan siap membahas revisi Undang-undang Kepolisian Republik Indonesia atau RUU Polri jika dianggap mendesak.
Namun, komisi bidang hukum itu masih memprioritaskan pembahasan RUU KUHAP dalam waktu dekat ini.
Baca Juga: Bentuk Sekretariat Bersama, Gerindra-PKB Kian Mesra
Beberapa pasal dalam draf revisi tersebut menjadi sorotan dan menuai kontroversi di kalangan masyarakat sipil serta organisasi hak asasi manusia.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad berujar, bahwa RUU Polri tidak akan dibahas dalam waktu dekat ini, meski belakangan muncul wacana tersebut.
“DPR belum berencana melakukan revisi UU Polri,” kata Dasco kepada media pada Senin, 24 Maret 2025.
Baca Juga: Berjalan Sukses, Perhelatan KTT G20 Dapat Apresiasi Wakil Ketua DPR RI
Meskipun dinyatakan akan ditunda, namun, revisi UU Polri termasuk dalam RUU inisiatif DPR. Pembahasannya sudah dilakukan sejak 2024.
Berdasarkan draf RUU Polri yang diterima FTnews, ada beberapa pasal yang diusulkan bakal nantinya diubah.
Misalnya yang tertuang dalam draf RUU Polri Pasal 16 ayat 1 huruf q. Pasal itu menyatakan, bahwa Polri berwenang melakukan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses ruang siber untuk tujuan keamanan dalam negeri.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian menilai, intervensi polisi dalam membatasi ruang siber berpotensi mengecilkan ruang berpendapat yang dimiliki publik.
Selain itu, kewenangan Polri dalam penindakan di ruang siber ini berpotensi menyebabkan tumpang tindih kewenangan dengan Kementerian Komunikasi dan Digital, hingga Badan Sandi dan Siber Negara.
Usulan perubahan yang menuai polemik dalam draf RUU Polri terdapat dalam Pasal 14 ayat 1 huruf g.
Pasal tersebut menyatakan, bahwa Polri bertugas untuk mengkoordinasi, mengawasi, dan melakukan pembinaan teknis terhadap Kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, penyidik lain yang ditetapkan oeh UU, dan bentuk pengamanan swakarsa.
Pasal lain yang menjadi polemik dalam draf RUU Polri yaitu 16 A, yang mengatur tentang kewenangan Polri untuk menyusun rencana dan kebijakan di bidang Intelkam sebagai bagian dari rencana kebijakan nasional.
Usulan penambahan batas usia pensiun bagi anggota Polri juga ditentang oleh masyarakat sipil. Usulan ini tertuang dalam draf RUU Polri Pasal 30 ayat 2.
Dalam beleid itu, batas usia pensiun polisi diusulkan diperpanjang menjadi 60 tahun untuk anggota Polri, 62 tahun untuk anggota Polri yang memiliki keahlian khusus dan dibutuhkan dalam tugas, serta 65 tahun bagi pejabat fungsional.
Berbagai elemen masyarakat mendesak agar pembahasan revisi UU Polri dilakukan secara transparan dengan melibatkan partisipasi publik yang luas.
Ketua YLBHI Muhammad Isnur mendesak kepada DPR dan pemerintah untuk tidak menyusun undang-undang secara serampangan. Termasuk pembahasan RUU Polri ini.
Dia meminta agar lembaga legislatif memprioritaskan pembahasan RUU PPRT, RUU Perampasan Aset, RUU KUHAP, RUU Penyadapan, hingga RUU Masyarakat Adat.
"Kami menolak keras revisi UU Polri berdasarkan inisiatif DPR ini," kata Isnur pada Senin, 23 Maret 2025.
Hal ini penting untuk memastikan bahwa perubahan yang diusulkan tidak mengancam demokrasi, kebebasan sipil, dan hak asasi manusia di Indonesia.