Kasus Sister Hong: Pria Menyamar Jadi Wanita, Rekam Hubungan Intim Diam-diam dan Sebarkan
Kasus kejahatan seksual dan pelanggaran privasi yang mengejutkan tengah menghebohkan Tiongkok.
Seorang pria asal Nanjing, dikenal publik dengan nama daring Sister Hong, ditangkap setelah diduga menyamar sebagai perempuan dan menjebak lebih dari 1.600 pria untuk berhubungan intim, lalu merekam aksi tersebut secara diam-diam dan menyebarkannya demi keuntungan pribadi.
Pelaku yang bernama Jiao (38) menciptakan identitas palsu sebagai wanita menggunakan wig, riasan wajah, gaun, hingga filter suara dan kecantikan digital.
Baca Juga: Jepang Kerahkan Pesawat Tempur Setelah Drone China Terdeteksi Dekat Pulau Yonaguni
Pura-pura Jadi Perempuan

Kolase Sister hong dan para korbannya. (Tangkapan layar video X)
Baca Juga: Tiongkok Bakal Unjuk Peralatan Tempur Terbaru di Parade Peringatan 80 Tahun Menyerahnya Jepang
Ia berpura-pura sebagai perempuan yang sudah menikah untuk menarik perhatian para pria heteroseksual yang mencari hubungan rahasia.
Pertemuan dilakukan di rumah Jiao, yang telah dipasangi kamera tersembunyi. Meski tak meminta bayaran secara langsung, Jiao menerima "hadiah" seperti susu, buah, hingga minyak goreng dari para korban.
Namun, yang lebih mengerikan, ia kemudian mengunggah video-video hubungan tersebut ke grup online privat dan mematok tarif 150 yuan (sekitar Rp330 ribu) untuk akses menonton ratusan rekaman tersebut.
Viral di Medsos dan Banjir Kecaman

Kolase Sister hong dan para korbannya. (Tangkapan layar video X)
Kasus ini mencuat pada Juli 2025 dan langsung viral di media sosial Tiongkok. Di platform Weibo saja, topik ini ditonton lebih dari 200 juta kali.
Kemarahan publik makin membesar setelah seorang korban yang dikenal sebagai “Pria Berjaket Kulit Bahagia” dikenali dari video yang bocor—dan tunangannya langsung membatalkan pernikahan mereka.
Jiao kini ditahan dan didakwa dengan tuduhan penyebaran konten cabul dan pelanggaran privasi.
Meski pihak berwenang masih menyelidiki klaim Jiao bahwa ia sudah menjebak lebih dari 1.600 pria, mereka tak menampik bahwa skala kejahatan ini sangat besar dan dampaknya berat.
Celah Hukum dan Tantangan Era Digital
Skandal ini memicu perdebatan luas mengenai hukum privasi dan siber di Tiongkok. Para pakar menilai regulasi saat ini belum cukup kuat untuk menjerat pelaku yang menggunakan teknologi canggih untuk melakukan pengintaian dan penyebaran konten tanpa persetujuan.
Banyak korban tak sadar bahwa hubungan intim mereka direkam, apalagi sampai videonya disebar secara daring. Celah hukum, ditambah dengan anonimitas dunia maya, membuat banyak korban tak punya perlindungan maupun tempat mengadu.
Sorotan atas Represi Seksual dan Stigma
Psikolog menilai kasus ini juga mencerminkan tekanan sosial dan represi seksual di Tiongkok. Banyak pria heteroseksual yang merasa tak punya ruang aman untuk mengeksplorasi seksualitas mereka.
Rasa malu dan takut diketahui membuat mereka menjadi sasaran empuk kejahatan seperti yang dilakukan Jiao.
Kemampuan pelaku untuk mengeksploitasi ketakutan tersebut memperlihatkan bagaimana stigma seksual masih menjadi momok besar di masyarakat.
Dugaan Penyebaran HIV
Muncul pula kekhawatiran akan dampak kesehatan masyarakat. Seorang pembawa acara televisi, Lu Zihao, mengklaim ada setidaknya tiga korban Sister Hong yang dinyatakan positif HIV.
Meski belum ada konfirmasi resmi, otoritas kesehatan di Nanjing sudah meminta siapa pun yang merasa pernah melakukan kontak seksual dengan Jiao agar segera melakukan tes.
Status kesehatan Jiao sendiri hingga kini dirahasiakan karena alasan hukum.
Tuntutan Reformasi
Kasus ini telah memicu seruan luas untuk reformasi hukum di bidang privasi, dunia digital, dan pendidikan seksual. Para aktivis mendesak perlunya hukuman tegas untuk perekaman tanpa izin, aturan ketat bagi platform digital, serta kampanye publik tentang pentingnya persetujuan dan kesehatan seksual.
Meskipun pihak berwenang sudah berusaha menghapus video-video yang tersebar, banyak yang menilai respons mereka terlalu lambat.
Harapannya, tragedi ini bisa menjadi titik balik untuk membenahi sistem perlindungan privasi dan martabat manusia di era digital Tiongkok.
Sumber: ibtimes.co.uk