Konflik Agraria Marak Mafia Merajalela, KPA Pertanyakan Kenapa Pansus PKA DPR belum Bekerja?
Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menilai, sampai dengan hari ini, belum ada tanda-tanda Pansus Penyelesaian Konflik Agraria DPR RI (Pansus PKA) DPR RI, bekerja untuk menindaklanjuti aspirasi rakyat mempercepat penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah dalam kerangka pelaksanaan reforma agraria.
Padahal, konflik agraria di tanah-air dan Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) yang harus segera dituntaskan oleh pemerintahan Prabowo semakin terakumulsi, menumpuk tanpa kejelasan mekanisme penyelesaian. Bahkan konflik-konflik agraria baru terus bermunculan.
“Hingga saat ini belum ada tanda-tanda pansus bekerja untuk mendorong langkah-langkah percepatan pelaksanaan reforma agraria sekaligus mengevaluasi kinerja kementerian/lembaga (K/L) yang seringkali menjadi penghambat penyelesaian konflik agraria struktural. "
Baca Juga: Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjanto: Saya yang Pasang Badan
"Bahkan kami melihat ada keputusan atau pernyataan menteri yang bersifat bertentangan dengan aspirasi masyarakat pada HTN 2025,” tegas Dewi, dikutip dari siaran pers Konsorsium Pembaruan Agraria, Minggu (16/11/2025).
Dorong Prabowo Bentuk Badan Pelaksana Reforma Agraria Nasional
Konsorsium Pembaruan Agraria mendesak Panitia Khusus (Pansus) Penyelesaian Konflik Agraria DPR RI (Pansus PKA) segera bekerja, dan mendorong Presiden Prabowo membentuk Badan Pelaksana Reforma Agraria Nasional (BPRAN).
Baca Juga: KSP dan Pakar Cari Solusi Penyelesaian Konflik Agraria Aset PTPN
Diingatkan, pembentukan Pansus PKA dan BP-RAN ini merupakan kesepakatan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara DPR RI dan pemerintah bersama KPA pada peringatan Hari Tani Nasional 2025 (HTN). Selain itu, dalam RDP tersebut, KPA juga menyampaikan 24 masalah agraria struktural dan 9 (sembilan) tuntutan perbaikan. RDP ini dihadiri juga oleh 100 orang perwakilan dari 12 ribu massa aksi HTN yang berasal dari organisasi tani, nelayan, dan buruh.
Pasca-HTN dalam rangka menindaklanjuti hasil RDP bersama KPA, jelasnya, DPR RI secara resmi telah membentuk Pansus PKA yang terdiri dari 30 Anggota DPR RI berasal dari delapan fraksi pada tanggal 02 Oktober 2025.
Ilustrasi-- Konflik agraria terus saja terjadi bahkan setelah Pansus Penyelesaian Konflik Agraria DPR RI terbentuk [Foto:[Foto: dok Konsorsium Pembaruan Agraria]Konflik Agraria Terus Terjadi Bahkan setelah Dibentuk Pansus
Di lapangan, lanjutnya, terlihat ledakan konflik agraria disertai kriminalisasi dan kekerasan terhadap rakyat terus berlangsung sepanjang tahun ini. KPA mencatat enam bulan pertama 2025, sedikitnya terjadi 114 letusan konflik, seluas 266.097,20 hektar, dan 96.320 keluarga terdampak.
Bahkan sejak dibentuknya pansus, konflik agraria dan kekerasan di lapangan terus terjadi. Misalnya konflik agraria antara Masyarakat Adat Tano Batak dengan PT. Toba Pulp Lestari (TPL) yang terus memanas.
Dua bulan terakhir, pihak perusahaan terus menghancurkan tanaman dan akses jalan masyarakat, serta melakukan tindak kekerasan. Di Aceh Utara, konflik agraria antara masyarakat Cot Girek dengan PTPN IV terus memakan korban di pihak masyarakat.
Selanjutnya, tiga hari yang lalu, PT Gruti melakukan kriminalisasi massal terhadap 35 masyarakat Dairi, Sumut yang menolak perampasan tanah dan kerusakan lingkungan yang disebabkan perusahaan. Korban kriminalisasi bertambah, sebab kemarin satu orang perempuan dari pihak masyarakat kembali dikriminalisasi. Sementara di Kendal, Jawa Tengah, dua orang petani dikriminalisasi akibat dituduh menyerobot lahan perusahaan swasta.
Kebijakan K/L belum Berpihakpada Pelaksanaan Reformasi Agraria
Di sisi lain, kebijakan yang dilakukan oleh K/L terkait belum menunjukkan orientasi keberpihakan terhadap pelaksanaan reforma agraria. Terbaru, Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid masih memaksakan mekanisme Hak Pengelolaan (HPL) sebagai win-win solution.
Misalnya terkait kasus Desa Batulawang, Cianjur, Jawa Barat yang seharusnya sudah diredstribusikan kepada petani dan masyarakat desa dalam bentuk hak milik bersama justru secara sepihak di-HPL-kan oleh Badan Bank Tanah (BBT), yang difasilitasi oleh Kementerian ATR/BPN.
Padahal desa ini merupakan LPRA yang seharusnya mudah dituntaskan dengan mengacu pada Perpres 62/2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria tanpa harus melewati mekanisme HPL BBT. Proses HPL BBT mengingkari kesepakatan sebelumnya pada masa Pemerintahan Jokowi.
Dukung Kebijakan Prabowo Nasionalisasi Aset Tanah yang Dikuasai Perusahaan secara Ilegal
KPA kata Dewi mendukung upaya Presiden Prabowo untuk melakukan nasionalisasi aset terhadap tanah-tanah yang selama ini dikuasai oleh perusahaan perkebunan secara illegal, maladministrasi dan secara fisik telah ditelantarkan berpuluh tahun lamanya.
“Proses nasional aset harus mengedepankan prinsip pemenuhan hak atas tanah dan skala prioritas bagi rakyat untuk mendapatkan keadilan sosial berbasis agraria. Sebab ada ribuan desa, perkampungan, lumbung pangan rakyat yang seharusnya sejak lama diakui oleh negara.”
“Namun karna pemerintahan-pemerintahan sebelumnya gagal menjalankan RA, yang terjadi adalah konflik agraria berkepanjangan antara masyarakat dengan HGU perusahaan. Seharusnya, ribuan desa yang berada di dalam klaim-klaim sepihak konsesi perusahaan segera dikeluarkan dan diselesaikan dalam kerangka reforma agraria. Jangan sampai nasionalisasi aset justru menjadi mekanisme baru untuk menggusur tanah masyarakat, “ Dewi mengingatkan.
Dewi juga menjabarkan konflik-konflik agraria struktural yang berkaitan dengan klaim-klaim negara atas nama kawasan hutan juga mengalami kemacetan. Dalam pertemuan KPA dengan Menteri dan Wakil Menteri Kehutanan pasca HTN 2025, ada hambatan struktural yang dihadapi oleh Kementerian Kehutanan, utamanya berkaitan dengan konflik agraria petani dengan Perum Perhutani/Inhutani.
Kemenhut tak Mampu Selesaikan Konflik Agraria
Ketidakmampuan Kementerian Kehutanan untuk menyelesaikan konflik agraria berkepanjangan dengan klaim perhutani ini membutuhkan kepemimpinan Presiden untuk memastikan Badan Pengelolah BUMN (BP BUMN) dan Menteri Keuangan bekerjasama dalam kerangka RA dengan cara melepaskan klaim aset BUMN di atas tanah-tanah masyarakat.
Selain itu, desa-desa, wilayah adat, lumbung pangan rakyat yang mengalami konflik agraria puluhan tahun dengan konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) harus segera dikeluarkan dari status kawasan hutan dan dijadikan objek reforma agraria sebagai jalan pemulihan dan pemenuhan hak petani serta masyarakat adat.
Direktur Kelompok Studi Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Rocky Pasaribu mengatakan birokrasi yang panjang telah menyebabkan macetnya pelaksanaan reforma agraria. “Kami selalu dipingpong antara pemerintahan kabupaten, provinsi hingga pemerintahan pusat”, katanya.
Rocky mencontohkan masyarakat adat yang sudah mendapatkan SK pengakuan pun belum bisa mendapatkan hak penuh atas tanah dan wilayah adatnya akibat panjangnya birokrasi yang harus ditempuh. “Satu kasus untuk Pandumaan Sipituhuta saja kami butuh 13 tahun untuk menyelesaiankannya, sehingga kita tidak bisa lagi fokus kasus per kasus untuk penyelesaian konflik agraria,” tegas Rocky.
Rocky menegaskan Pansus dan BPRAN bisa menjadi terobosan politik untuk menyelesaian akar persoalan agraria yang terjadi secara komprehensif. “Sebab Sumut merupakan provinsi dengan konflik agraria dan kriminalisasi tertinggi selama beberapa tahun terakhir”.
Kordinator KPA Wilayah Jambi, Frandody menagih hasil kerja Pansus. “Hari ini di Jambi misalnya persoalan tata batas kawasan hutan yang banyak merampas tanah dan wilayah masyarakat dan petani. Bahkan peta Kementerian ATR/BPN, Kementerian Kehutanan dan Kementerian Desa itu berbeda. Ini harus segera direspon dan selesaikan oleh Pansus,” jelas Dodi.
Sementara Ketua Serikat Tani Mandiri (STaM) Cilacap, Sugeng Petrus masih menunggu gebrakan Pansus. “Kami di Cilacap belum mendengar kapan Pansus ini bekerja, khususnya untuk melakukan evaluasi terhadap Perhutani dan PTPN yang telah mencaplok tanah dan lahan pertanian masyarakat,” ungkapnya.
“Sejauh ini kerja-kerja Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) justru mengukuhkan klaim-klaim Perhutani di atas tanah garapan masyarakat. Kami berharap BPRAN segera dibentuk, sebab kelembagaan yang ada saat ini justru kontraproduktif dengan penyelesaian konflik agraria,” lanjut Sugeng. ***