Kontroversi Food Estate di Papua Selatan, Militer hingga Deforestasi
Pemerintah terus memacu pengembangan program lumbung pangan nasional atau food estate di Kabupaten Merauke, Papua Selatan. Meski diproyeksikan sebagai pilar ketahanan pangan dan energi nasional, proyek ini memicu polemik tajam terkait pembukaan hutan dalam skala luas serta dugaan tekanan terhadap masyarakat adat akibat keterlibatan aparat militer di lapangan.
Proyek yang ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) tersebut menargetkan pembukaan jutaan hektare lahan untuk pengembangan komoditas padi dan tebu.
Namun, di balik ambisi swasembada pangan, muncul kekhawatiran mendalam terkait keberlanjutan ekosistem hutan tropis Papua serta perlindungan hak-hak dasar masyarakat adat.
Baca Juga: Geram Deforestasi Sebabkan Banjir Sumatera, Prilly Latuconsina: Keserakahan Manusia!
Keterlibatan Militer dan Tekanan Psikologis
Berbeda dengan proyek pertanian pada umumnya, keterlibatan Tentara Nasional Indonesia dalam pelaksanaan food estate di Merauke menjadi sorotan publik.
Baca Juga: Kabar Buruk Deforestasi Global Meningkat Pesat, Indonesia?
Aparat tidak hanya berperan dalam pengamanan, tetapi juga dilaporkan terlibat dalam pembersihan lahan, dukungan logistik, hingga pemagaran area proyek.
Kehadiran militer dalam jumlah besar di wilayah adat disebut menimbulkan rasa waswas di kalangan warga. Sejumlah laporan menyebutkan masyarakat adat merasa diawasi dan tertekan saat mencoba menyampaikan penolakan terhadap pengambilalihan tanah ulayat.
Para pengamat menilai situasi ini berpotensi menghambat ruang dialog yang setara serta memperlemah posisi tawar masyarakat adat dalam mempertahankan hak atas tanahnya.
Ambisi Lumbung Pangan Di Merauke Picu Kekhawatiran Global
Ancaman Ekologi, Hak Adat, dan Sorotan Internasional
Aktivis lingkungan dan lembaga hak asasi manusia menyoroti dampak ekologis proyek food estate di Merauke. Pembukaan hutan dalam skala masif dikhawatirkan akan merusak keanekaragaman hayati, menghilangkan habitat satwa endemik, serta melepaskan emisi karbon dalam jumlah besar ke atmosfer.
Dari sisi kemanusiaan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengonfirmasi adanya indikasi pelanggaran hak masyarakat adat, termasuk yang dialami oleh komunitas Malind, Yei, Maklew, dan Khimaima.
Sejumlah komunitas dilaporkan tidak dilibatkan secara memadai dalam proses konsultasi awal, sehingga prinsip free, prior, and informed consent dinilai belum sepenuhnya dijalankan.
Masyarakat adat mengeluhkan perubahan fungsi tanah yang selama ini menjadi sumber kehidupan mereka menjadi lahan komersial, tanpa persetujuan yang benar-benar bebas. Kondisi ini diperparah oleh tekanan psikologis akibat pengamanan ketat di sekitar lokasi proyek.
Pemerintah Indonesia membantah adanya pelanggaran dan menegaskan bahwa proyek berjalan sesuai regulasi nasional. Namun, kritik tidak hanya datang dari dalam negeri.
Sejumlah pihak internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, menyoroti potensi pemindahan paksa masyarakat adat serta belum optimalnya kajian dampak lingkungan.
Di sisi lain, koalisi masyarakat sipil mendorong pasar global, termasuk Uni Eropa melalui kebijakan European Union Deforestation Regulation, untuk mencermati asal-usul komoditas dari proyek tersebut.
Mereka menilai hasil produksi yang berasal dari deforestasi dan konflik lahan berisiko menghadapi penolakan di pasar internasional.
Papua, sebagai salah satu benteng terakhir hutan tropis dunia, kini berada di persimpangan. Pertarungan antara ambisi pembangunan nasional dan perlindungan hak asasi manusia serta kelestarian lingkungan menjadi ujian nyata bagi komitmen pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan.