Ekonomi Bisnis

Kabar Buruk Deforestasi Global Meningkat Pesat, Indonesia?

16 Oktober 2025 | 15:49 WIB
Kabar Buruk Deforestasi Global Meningkat Pesat, Indonesia?
Tambang nikel di Pulau Kawei, Raja Ampat, Papua Barat Daya — aktivitas di pulau kecil yang mengancam ekosistem pesisir dan laut/Foto diambil pada Desember 2024, Auriga Nusantara

Dalam tiga tahun terakhir, tren kehilangan hutan meningkat setelah sebelumnya sempat menurun drastis pada periode 2017–2021. Laporan Forest Declaration Assessment (FDA) terbaru yang dipublikasi 13 Oktober 2025 menegaskan bahwa dunia gagal menjaga janji menahan laju deforestasi, dan Indonesia menjadi cermin paling nyata dari kenyataan itu

rb-1

Di satu sisi Indonesia digadang sebagai pionir keberhasilan, di sisi lain justru kembali membuka jalan bagi kerusakan baru atas nama pembangunan dan investasi.

Keberhasilan Indonesia menurunkan deforestasi antara 2017 hingga 2021 adalah hasil dari kebijakan yang berani di masa itu—moratorium sawit, pengendalian kebakaran, dan penguatan penegakan hukum.

Baca Juga: Fatwa MUI: Haramkan Deforestasi dan Bakar Hutan Lahan

rb-3

Namun, capaian itu kini terkikis oleh lemahnya komitmen politik dan kebijakan baru yang justru membuka ruang legal bagi pembukaan hutan.

“Pemerintah tampak ingin memelihara citra hijau di luar negeri, tetapi di dalam negeri, kebijakan seperti Food and Energy Sovereignty Plan dan pelonggaran izin tambang menunjukkan arah sebaliknya,” kata Hilman Afif, Juru Kampanye Yayasan Auriga Nusantara.

Target FOLU Net Sink 2030 Jadi Retorika

Baca Juga: Ini 4 Perusahaan yang Izin Usaha Tambang di Raja Ampat Dicabut Prabowo

Kenaikan deforestasi dalam tiga tahun terakhir, ujarnya, adalah alarm keras bahwa target FOLU Net Sink 2030 hanya akan menjadi retorika jika tidak disertai langkah nyata untuk melindungi hutan alam tersisa—baik di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan.

Pencabutan empat izin tambang di Raja Ampat pada 2025 sempat dipuji sebagai langkah progresif, tetapi kenyataannya langkah tersebut hanya menyentuh permukaan.

Ada 381 Izin Pertambangan di 289 Pulau Kecil

Masih ada 381 izin pertambangan di 289 pulau kecil dengan total luas 921 ribu hektare yang terus mengancam ekosistem pesisir dan kehidupan masyarakat lokal.

Sementara itu, sektor pertanian permanen tetap menjadi penyumbang utama deforestasi global—menurut FDA, mencapai 86 persen. Kondisi ini mencerminkan realitas di Indonesia, di mana ekspansi kebun kayu, sawit, dan kini hutan tanaman energi terus bergerak ke kawasan hutan alam.

Di Gorontalo, misalnya, proyek hutan energi berkembang pesat bukan hanya karena kebijakan nasional, tapi juga karena dorongan pasar global terhadap biomassa sebagai sumber energi “hijau”.

Ironisnya, ekspor biomassa dari Indonesia ke Jepang melonjak tajam antara 2021–2024, menandakan bahwa energi bersih di satu negara sedang dibangun di atas kehancuran ekologis negara lain.

Tambang Nikel

Hilman Afif menyebut, tekanan terhadap hutan juga datang dari ambisi tambang nikel yang digadang sebagai bahan utama transisi energi dunia. Industri ini menambah luka baru di kawasan timur Indonesia.

Hutan dibuka untuk menambang bahan baku kendaraan listrik yang diklaim ramah lingkungan. Paradoks ini menunjukkan betapa transisi energi global gagal memutus ketergantungan terhadap praktik ekstraktif yang menghancurkan ekosistem dan komunitas lokal.

Lebih jauh, kebijakan pemerintah untuk membuka 481 ribu hektare hutan di Merauke dalam program Food and Energy Sovereignty Plan menunjukkan bahwa ancaman deforestasi di masa depan bukan lagi soal kelalaian, melainkan pilihan politik yang sadar.

Ketimpangan dalam Penegakan Hukum

Alih-alih memperkuat perlindungan terhadap hutan alam, kebijakan ini justru memperluas izin agroindustri di wilayah yang selama ini menjadi benteng terakhir keanekaragaman hayati.

Di sisi lain, ketimpangan dalam penegakan hukum semakin memperdalam krisis keadilan lingkungan. Negara masih lebih cepat menindak petani kecil dan masyarakat adat daripada korporasi besar penyebab deforestasi industri. Bahkan tak sedikit masyarakat adat yang mempertahankan hutan dihadapkan pada kriminalisasi dan penggusuran.

Timer Manurung, Ketua Yayasan Auriga Nusantara Indonesia kini berada di persimpangan antara komitmen pada agenda iklim, yang sering ditunjukkan di panggung internasional, dan kepentingan ekonomi jangka pendek, yakni mengejar target pertumbuhan dengan mengorbankan lingkungan.

Tag Deforestasi Pertambangan RajaAmpat

Terkait

Terkini