Kontroversi Penulisan Sejarah Tragedi Mei 1998, Menteri Fadli Zon: Harus Ditulis dengan Fakta bukan Emosi

Nasional

Selasa, 17 Juni 2025 | 22:58 WIB
Kontroversi Penulisan Sejarah Tragedi Mei 1998, Menteri Fadli Zon: Harus Ditulis dengan Fakta bukan Emosi
Foto kerusuhan dan pembakaran 14 Mei 1998/Foto: domain publik, wikipedia

Ucapan Menteri Kebudayaan Fadli Zon terkait Tragedi Mei 1998, memicu kontroversi. Dia dinilai seolah mengaburkan fakta yang terjadi dalam kerusuhan Mei 1998.

rb-1

Menteri Kebudayaan Fadli Zon menanggapi kontroversi seputar pernyataannya mengenai penggunaan istilah "perkosaan massal" dalam Tragedi Mei 1998.

Menanggapi hal ini Fadli Zon menegaskan, dirinya bukan menyangkal atau mengerdilkan penderitaan korban, melainkan mengajak masyarakat berpikir jernih, adil, dan berpijak pada fakta sejarah yang terverifikasi.

Baca Juga: Aktivis Sosial Lieus Sungkarisma Meninggal Dunia

rb-3

“Setiap luka sejarah harus kita hormati. Tapi sejarah bukan hanya tentang emosi, ia juga tentang kejujuran pada data dan fakta,” ujar Fadli dalam pernyataannya, Selasa (17/6/2025.

Fadli Zon Ingatkan Publik Berhati-hati Pilih Narasi Sejarah

Menteri Kebudayaan Fadli Zon?Foto: dok KemenbudMenteri Kebudayaan Fadli Zon?Foto: dok Kemenbud

Baca Juga: Fadli Zon Kenang Momen Pertemuan dengan Titiek Puspa: Figur Berpengaruh dalam Industri Musik Tanah Air

Ia mengajak publik untuk lebih berhati-hati dalam memilih narasi sejarah agar tidak jatuh pada simplifikasi yang dapat menyulitkan pencarian keadilan sejati.

Pernyataan Fadli sebelumnya menuai kritik karena dianggap menyangsikan keberadaan kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998. Namun, jika dibaca secara menyeluruh, pernyataannya justru menyoroti kehati-hatian penggunaan istilah "massal" yang menurutnya perlu diuji secara akademik dan hukum.

Laporan TGPF 1998

Menbud Fadli Zon mengacu pada laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) 1998 yang memang mencatat adanya kekerasan seksual, namun tidak menemukan pola sistematis yang bisa dikategorikan sebagai "massal" dalam standar hukum internasional.

“Ini bukan soal menyangkal korban. Ini soal menghindari penyimpulan yang terlalu cepat, yang justru bisa membuat luka makin dalam dan kebenaran makin kabur,” tegas Fadli.

Ia juga menyatakan dukungannya terhadap lembaga seperti Komnas Perempuan dan proses keadilan transisional. Menurutnya, empati kepada korban tidak harus bersifat emosional semata, tetapi juga harus mengakar pada pemahaman yang benar agar keadilan dapat ditegakkan dengan kokoh.

Respon Menko PMK Pratikno

Pada kesempatan berbeda, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Pratikno, turut memperjelas bahwa polemik ini seharusnya difokuskan pada aspek terminologi.

"Fokusnya bukan ada atau tidak adanya kekerasan, tapi soal istilah yang digunakan. Itu penting agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam penulisan sejarah," ujar Menko PMK kepada media.

Lebih lanjut, Menteri Fadli Zon juga menyampaikan bahwa dalam era informasi yang cepat dan penuh kesimpulan instan, ada tanggung jawab kolektif untuk menjaga keseimbangan antara empati dan keakuratan fakta. Ia mengingatkan agar penyusunan sejarah diserahkan kepada sejarawan, akademisi, dan lembaga resmi yang bekerja secara ilmiah dan bertanggung jawab.

“Ini bukan tentang saya. Ini tentang bagaimana kita, sebagai bangsa, menulis sejarah dengan kepala dingin, hati terbuka, dan kaki yang berpijak pada fakta,” tutupnya.

Tragedi Mei 1998 merupakan salah satu episode tergelap dalam sejarah Indonesia modern. Seruan Fadli Zon agar publik bersikap jernih dan adil dalam memahami sejarah, bisa menjadi momentum penting. Momentum untuk menolak dua bahaya sekaligus: lupa dan manipulasi sejarah.

“Sejarah yang adil adalah yang bisa menampung air mata, tapi juga bisa menyaring dusta,” pungkasnya.***

Tag Fadli Zon Kontroversi Tragedi Mei 1998 Penulisan Sejarah Ulang Diragukan Adanya Perkosaan Massal Tragedi Mei Diragukan

Terkini