Krisis Plastik Makin Parah, Mikroplastik Kini Ditemukan dalam Hujan Jakarta
Fenomena ditemukannya mikroplastik dalam air hujan di Jakarta menambah daftar panjang persoalan lingkungan yang tengah dihadapi masyarakat perkotaan.
Penemuan ini pertama kali diungkap oleh peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Muhammad Reza Cordova, pada Jumat (17/10/2025).
Temuan tersebut menimbulkan kekhawatiran publik karena air hujan yang selama ini dianggap bersih ternyata mengandung partikel plastik berukuran mikroskopis.
Baca Juga: Bahaya Tak Kasat Mata: Mikroplastik Menyusup ke Dalam Buah, Sayur, dan Daging
Guru Besar IPB University dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), Prof. Etty Riani, menjelaskan bahwa mikroplastik dan nanoplastik dapat dengan mudah terbawa ke atmosfer karena ukurannya yang sangat kecil dan massanya yang ringan.
“Partikel ini bisa berasal dari berbagai sumber di darat seperti gesekan ban kendaraan bermotor, pelapukan sampah plastik kering yang terbawa angin, hingga serat pakaian berbahan sintetis,” jelas Prof. Etty, dikutip dari laman resmi IPB, Selasa (21/10/2025).
Mikroplastik di Udara dan Air: Ancaman Tak Kasatmata
Baca Juga: Apa Arti Mimpi Hujan?
Prof. Etty memaparkan bahwa mikroplastik yang melayang di atmosfer dapat menyatu dengan tetesan air hujan. Hal ini menyebabkan air hujan yang tampak bersih ternyata membawa partikel plastik yang tidak kasat mata.
Ia menegaskan bahwa tingginya konsumsi plastik dalam kehidupan sehari-hari menjadi akar utama masalah lingkungan ini.
“Dari bangun tidur hingga tidur lagi, manusia tidak lepas dari plastik. Akhirnya, plastik akan terurai menjadi mikroplastik dan nanoplastik,” ujarnya.
Kondisi ini menunjukkan bahwa partikel plastik kini tidak hanya mencemari tanah dan laut, tetapi juga telah menyusup ke udara serta sistem hidrologi melalui hujan.
Dampak Serius bagi Kesehatan dan Lingkungan
Ilustrasi Hujan (Pexels)Dalam wawancara terpisah, Prof. Etty menjelaskan bahwa paparan mikroplastik di udara maupun air dapat menimbulkan dampak serius bagi kesehatan manusia.
Dalam jangka pendek, paparan mikroplastik berpotensi menyebabkan iritasi saluran pernapasan, batuk, infeksi, serta peradangan.
Lebih jauh lagi, plastik mengandung bahan aditif berbahaya seperti ftalat dan bisfenol A (BPA) yang bersifat karsinogenik serta dapat mengganggu sistem hormonal.
Paparan jangka panjang terhadap zat-zat ini berisiko meningkatkan kemungkinan terjadinya gangguan endokrin, masalah reproduksi, bahkan kanker.
“Apabila terus-menerus terjadi, risiko iritasi pada saluran napas bisa meningkat dan menimbulkan dampak lanjutan seperti infeksi atau radang.
Plastik juga mengandung bahan berbahaya yang bisa memicu gangguan hormonal dan meningkatkan risiko kanker,” papar Prof. Etty.
Perlu Tindakan Nyata: Kurangi Plastik, Tegakkan Aturan
Fenomena mikroplastik dalam air hujan menjadi bukti nyata bahwa permasalahan sampah plastik di Indonesia telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan.
Meskipun sebagian masyarakat mulai beralih ke kemasan ramah lingkungan dan menerapkan daur ulang, dampaknya belum signifikan karena volume konsumsi plastik terus meningkat.
Menurut Prof. Etty, pemerintah perlu mengambil langkah konkret dengan menetapkan kebijakan yang lebih tegas dan mengikat terhadap pengelolaan sampah plastik. Penegakan hukum juga harus dilakukan tanpa pandang bulu untuk menekan produksi dan distribusi plastik sekali pakai.
“Pemerintah Indonesia perlu membuat kebijakan dengan penegakan hukum yang tegas dan tanpa pandang bulu,” tegasnya.
Ia juga mendorong masyarakat untuk mulai menerapkan prinsip 3R Reduce, Reuse, Recycle sebagai langkah sederhana namun efektif dalam menekan timbulan sampah plastik dari sumbernya.
Menuju Udara dan Air yang Lebih Bersih
Ilustrasi Hujan (Pexels)
Kasus mikroplastik dalam air hujan di Jakarta menjadi peringatan serius bahwa polusi plastik kini telah menjangkau setiap elemen kehidupan manusia dari tanah, laut, hingga udara yang kita hirup.
Penanganan komprehensif antara pemerintah, industri, dan masyarakat sangat dibutuhkan agar ancaman mikroplastik tidak semakin meluas dan membahayakan kesehatan generasi mendatang.
Penulis: Sopianur Latifah