Mengapa Seseorang Bisa Fanatik Dalam Pesta Demokrasi? Belajar Dari Kasus Carok Pilkada Sampang
Lifestyle

Peristiwa mengenaskan terjadi di Desa Ketapang Loak, Kecamatan Ketapang, Kabupaten Sampang, Jawa Timur, Minggu (17/11/2024) lalu.
Pria bernama Jimmy Sugito Putra meregang nyawa setelah tubuhnya berkali-kali dihantam sabetan celurit.
Jimmy merupakan pendukung dan saksi paslon Cabup dan Cawabup Sampang, Slamet Junaidi-Achmad Mahfudz.
Baca Juga: Ini Tanggapan Ridwan Kamil Soal Trotoar Jadi Tempat Jualan, Emang Boleh?
Insiden berdarah ini diduga bermotifkan politik, sebab peristiwa itu terjadi usai Cabup Slamet Junaidi berkunjung ke salah satu tokoh agama di Ketapang.
Menurut informasi yang beredar, usai kunjungan Cabup Slamet, Jimmy sempat terlibat cekcok dengan sekelompok orang yang beda pilihan politik dengannya.
Awalnya perselisihan hanya sebatas adu mulut. Namun ketegangan makin meningkat hingga akhirnya memicu tindakan brutal.
Baca Juga: AHY Dijadwalkan Temui Prabowo Subianto, Bahas Pemilu 2024?
Puncaknya, sekelompok orang mengeroyok korban menggunakan senjata tajam berupa celurit.
Bacokan demi bacokan dilayangkan ke tubuh Jimmy hingga akhirnya ia meregang nyawa dan meninggal dunia.
Peristiwa di Sampang itu merupakan buah dari fanatisme politik dalam perhelatan pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Tak hanya pada Pilkada, fanatisme orang-orang terhadap calon pemimpin juga terlihat dalam kontestasi yang lebih besar, yakni pemilihan presiden (Pilpres).
Aksi fanatisme itu kerap terjadi dan kerap mengakibatkan gesekan sosial, tak hanya secara langsung, tapi juga di media sosial.
Pertanyaan yang paling mendasar adalah, kenapa seseorang bisa menjadi fanatik kepada calon yang ia dukung?
Mengutip laman quora.com, Peneliti dan Analis komunikasi Politik di Lembaga Penelitian Pusat Riset Kebijakan Publik dan Hak Asasi Manusia, Uray Andre Baharudin mencoba menjawabnya.
Menurut dia, ada beberapa alasan mengapa seorang pemilih bisa menjadi fanatik pada sosok yang ia dukung.
Salah satu faktor yang cukup mempengaruhi, menurutnya, adalah latar belakang budaya dan nilai-nilai yang ada di masyarakat.
Uray mengatakan, dalam budaya kita, politik masih seringkali dipandang sebagai bentuk kebanggan dan identitas individu maupun kelompok.
Tak sedikit pemilih yang merasa memiliki afiliasi politik yang kuat dan menganggap pilihan politik mereka adalah bagian dari jati diri mereka.
“Ini dapat mengarah pada penolakan terhadap fakta-fakta yang tidak sesuai dengan keyakinan politik mereka, karena hal tersebut akan mengancam identitas mereka,” ujar Uray dalam uraiannya.
Selain itu, lanjutnya, media sisal juga berperan penting dalam menyuburkan fanatisme politik, utamanya di Indonesia.
Ia mengatakan, dalam lingkungan virtual, informasi bisa dengan mudah tersebar, atau dalam bahasa kekninian, viral.
Namun dalam waktu yang bersamaan sering kali terjadi ‘bubble effect’. Ini merupakan kondisi dimana orang-orang cenderung dibatasi pada pemikiran yang sejalan dengan mereka.
“Ini dapat memicu terbentuknya pandangan yang ekstrem dan memperkuat keyakinan yang tidak bergantung pada fakta,” ungkap Uray.
Inilah yang membuat para pemilih tidak bisa berpikir secara rasional dan akhirnya terjebak pada fanatisme.
Kondisi ini menjadi kontradiktif sebab dalam perhelatan demokrasi, para pemilih harus tetap berusaha rasional dalam memutuskan pilihannya di bilik suara.
Terkait dengan kondisi ini, menurut Uray, hal penting yang mesti dijaga adalah menyaring informasi yang kita terima dengan hati-hati.
Serta mendidik diri untuk bisa toleran dan terbuka dengan sudut pandang yang berbeda.
“Ini dapat membantu meminimalkan pengaruh emosional dan membuat keputusan yang lebih berdasarkan fakta dan logika,” ujarnya.