Pakar Hukum Sebut Ada Tiga Alasan Pemerintah Cabut Perpu Cipta Kerja

Forumterkininews.id, Jakarta – Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid meminta kepada pemerintah untuk mencabut Perpu. Ia menjelaskan, setidaknya ada tiga alasan mengapa Perpu harus dicabut.

“Seandainya dalam Sidang Paripurna DPR, presiden tidak bisa membuktikan serta menunjukkan adanya keadaan kegentingan yang memaksa”. Maka tentunya menurut ketentuan norma Pasal 22 ayat (3) UUD 1945 Perpu tersebut harus dicabut,” kata Fahri Bachmid kepada forumterkininews.id

Ia menjelaskan, setidaknya ada tiga alasan mengapa Perpu harus dicabut. Pertama, apabila dalam pembahasan Paripurna DPR diketahui bahwa perpu tersebut bertentangan dengan hakikat perpu yaitu tidak memenuhi Syarat “keadaan kegentingan yang memaksa”. Maka presiden sebenarnya dinyatakan tidak berwenang menetapkan perpu.

Kemudian kedua, perintah pencabutan tersebut untuk menghindari tindakan penyalahgunaan kekuasaan. Atau kemungkinan adanya tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan dengan instrumen hukum Perpu itu.

Ketiga, perpu yang dibuat secara sepihak oleh presiden, dengan konstruksi tersebut. Diharapkan agar DPR dapat memainkan peran-peran signifikan secara konstitusional dalam fungsi “Checks and balances”. Dalam rangka mendinamisir pemerintahan yang terbatas “limited government”.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Cipta Kerja menggugurkan status inkonstitusional bersyarat yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah keliru dan tidak tepat.

Sebab berdasarkan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yang amarnya “Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan”.

Serta memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak putusan ini diucapkan.

Dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka Undang-undang nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen. Adalah mandat konstitusional yang dikirimkan oleh MK kepada Presiden dan DPR untuk melakukan perbaikan atas UU a quo,”Reasoning secara konstitusional.

BACA JUGA:   Sandiaga Uno: Soliditas Manajemen dan Disiplin Keuangan Kunci Sukses Pelaku UMKM

“Atas putusan itu tentunya sangat gamblang, sebagaimana telah dirumuskan dalam putusan MK itu sendiri. Proses pembahasan UU Cipta Kerja melanggar prinsip-prinsip fundamental sebagai sebuah negara demokrasi konstitusional,” paparnya.

MK menegaskan bahwa oleh karena itu, selain menggunakan aturan legal formal berupa peraturan perundang-undangan, partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara bermakna (meaningful participation).

Sehingga tercipta atau terwujud partisipasi dan keterlibatan publik secara sungguh-sungguh. Partisipasi masyarakat yang lebih bermakna tersebut setidaknya memenuhi tiga prasyarat, yaitu: pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard). Kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered). Dan ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).

Partisipasi publik tersebut terutama diperuntukan bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian (concern). Terhadap rancangan undang- undang yang sedang dibahas.

“Dengan demikian, menurut hemat saya karena pemerintah dan DPR gagal dalam menindaklanjuti putusan MK tersebut. Sehingga mencoba mengakali dengan melakukan terobosan hukum yang tentunya mempunyai dampak buruk yang sistemik. Terhadap ekosistem negara hukum dan demokrasi,” tuturnya.

“Ini sebuah terobosan yang sangat riskan dan destruktif dalam pembangunan sistem hukum. Lebih jauh ini merupakan orkestrasi kebijakan dengan nuansa “Constitution Disobedience”,” sambungnya.

Berdasarkan dari hal tersebut, maka dapat dipastikan bahwa produk Perpu maupun UU dari Perpu ini tetap bermasalah dari sisi kaidah pembentukannya. Sebab tidak terakomodasi kaidah “meaningful participation” itu sendiri, dan potensial untuk dapat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) kedepan.

MK sebagai “the guardian of constitution, the guardian of democracy, the protector of citizen’s constitutional rights dan the protector of human rights. Dengan kewenangan konstitusional dapat menguji keadaan. Serta syarat kegentingan yang memaksa dari sebuah Perpu sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945.

“Secara paradigmatik pengunaan kewenagan tersebut tentunya sejalan dengan spirit serta doktrin “checks and balances system”. Hal itu sesuai dengan yang dianut dalam UUD NRI tahun 1945 itu sendiri,” tutup Fahri Bachmid.

Artikel Terkait