Paradoks Insan Pers Sebagai Penjaga Pilar Keempat Demokrasi
Nasional

Malam itu, 13 Agustus 1996, Fuad Muhammad Syafruddin atau akrab disapa Udin, seperti biasa pulang ke rumah selepas bekerja.
Ia memacu motor Honda Tiger 2000 miliknya yang berwarna merah hati, setelah merampungkan pekerjaannya di Harian Bernas, Yogyakarta.
Ya, Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin adalah salah satu jurnalis surat kabar lokal yang bernama Bernas.
Baca Juga: Jumat 5 April 2024, MK Panggil Empat Menteri
Waktu menunjukkan pukul 21.30 WIB. Baru saja Udin tiba di rumah dan melangkahkan kakinya menjauh dari sepeda motor, tiba-tiba ia diserang orang orang tak dikenal.
Udin dipukul, kepalanya dihantam benda keras, perutnya disodok besi. Akibat serangan tersebut, Udin roboh. Ia terluka parah hingga tak sadarkan diri.
Pelaku penyerangan seketika pergi begitu tubuh Udin terkapar tak berdaya. Oleh keluarganya, Udin lalu dibawa ke RSU Jebugan Bantul.
Baca Juga: Empat Poin Utama Sidang Putusan MK Soal Capres-Cawapres
Namun akhirnya dipindahkan ke RS Bethesda Yogyakarta untuk mendapatkan perawatan intensif.
Tiga hari kemudian, Jumat 16 Agustus 1996 datang kabar buruk dari RS Bethesda: Udin meninggal dunia pda pukul 16.50 WIB.
Penyebabnya, operasi tak mampu menghentikan pendarahan hebat di kepala, sehingga nyawa udin tak tertolong.
Kematian Udin hingga kini masih menjadi misteri. Apa yang menyebabkan ia menjadi sasaran serangan orang tak dikenal, sampai sekarang pun belum benderang.
Namun hal itu diduga terkait dengan kegiatan jurnalistik yang ia lakukan. Sebelum meninggal dunia, Udin memang tengah meliput pemilihan Bupati Bantul untuk masa jabatan 1996-2001.
Ketika itu, tiga calon bupati yang maju semuanya memiliki latar belakang militer. Salah satunya adalah calon petahanan, Sri Roso Sudarmo.
Sebelumnya, Danrem 072/Pamungkas Kolonel (Inf.) Abdul Rahman Gaffar mengatakan, Si Roso akan ditugaskan ke daerah lain.
Namun entah apa pertimbangannya, yang terjadi malah sebaliknya. Sri Roso kembali digadang-gadang menjadi Bupati Bantul.
Masuknya kembali Sri Roso ke bursa calon bupati, memicu Udin untuk membongkar borok pemerintah.
Sebab sosok Sri Roso cukup kontroversial. Selama menjadi Bupati Bantul, ia dianggap tak kompeten dan menyuburkan praktik KKN atau Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Tak lama terbitlah sejumlah berita yang ditulis Udin, yang sarat dengan kritik, diantaranya “Tiga Kolonel Ramaikan Bursa Calon Bupati Bantul,” “Soal Pencalonan Bupati Bantul: Banyak ‘Invisible Hand’ Pengaruhi Pencalonan,” “Di Desa Karangtengah Imogiri, Dana IDT Hanya Diberikan Separo,” dan “Isak Tangis Warnai Pengosongan Parangtritis.”
Laporan yang ditulis Udin sontak membuat gempar. Tak hanya menampar Sri Roso, tulisan Udin juga menyeret pemerintahan orde baru,
Dalam salah satu laporannya, Udin mengangkat mengenai surat kaleng yang berisikan ada satu calon bupati yang disebut akan memberikan dana satu miliar rupiah pada Yayasan Dharmais milik Soeharto yang ketika itu masih menjadi presiden.
Karena itu pula, kematian Udin dikenang sebagai salah satu borok rezim Orde Baru yang dikenal represif terhadap siapapun yang mencoba mengganggu kekuasaan.
Meskipun banyak spekulasi dan tuduhan terhadap berbagai pihak, kasus Udin tidak pernah terselesaikan hingga kini.
Udin tidak sendiri
Udin bukan satu-satunya insan pers yang mengalami kekerasan terkait tugas-tugas jurnalistik yang dilakukan.
Kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis tak hanya dilakukan oleh pemerintah Orde baru.
Pada era reformasi pun, kasus-kasus kekerasan tersebut masih terjadi. Dan berikut adalah beberapa yang berhasil dihimpun FTNews:
1. Kasus Pembunuhan Naimullah (2007): Naimullah, seorang wartawan di Kalimantan Barat, ditemukan tewas dengan luka di kepala. Kasus ini diduga terkait dengan liputannya tentang ilegal logging.
2. Kasus Pembunuhan Herliyanto (2006): Herliyanto, seorang wartawan di Jawa Timur, ditemukan tewas dengan luka di tubuhnya. Ia diduga dibunuh karena liputannya tentang korupsi di daerahnya.
3. Kasus pembunuhan wartawan Radar Bali (2009): AA Narendra Prabangsa, dibunuh setelah mengungkap dugaan korupsi di Bangli. Ia dianiaya hingga tewas oleh Nyoman Susrama dan komplotannya. Mayatnya ditemukan di laut Padangbai
4. Kasus Kekerasan terhadap Jurnalis Tempo (2010): Beberapa jurnalis Tempo mengalami kekerasan fisik dan intimidasi setelah menerbitkan laporan investigasi tentang dugaan korupsi di tubuh Polri.
5. Kasus Pembunuhan Muhammad Yusuf (2018): Muhammad Yusuf, seorang jurnalis di Kalimantan Selatan, meninggal dunia di tahanan setelah ditangkap karena liputannya tentang sengketa lahan.
6. Kasus Kekerasan terhadap Jurnalis saat Aksi 22 Mei (2019): Beberapa jurnalis mengalami kekerasan fisik dan intimidasi saat meliput aksi protes pasca pemilu di Jakarta.
7. Kasus Pembakaran Rumah Jurnalis Sempurna Pasaribu (2024): Rumah jurnalis Tribata TV, Sempurna Pasaribu, dibakar hingga menewaskan dirinya dan keluarganya. Kasus ini terjadi setelah ia memberitakan perjudian di Sumatera Utara⁽¹⁾.
8. Kasus Kekerasan terhadap Jurnalis Kompas TV (2024): Juru kamera Kompas TV, Bodhiya Vimala, mengalami kekerasan fisik saat meliput sidang pembacaan vonis kasus korupsi eks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.
Bahkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat, tahun 2023 merupakan tahun dimana kasus kekerasan terhadap jurnalis mencapai puncaknya dalam satu dekade terakhir.
“Jumlah ini menjadi yang tertinggi dalam 10 tahun atau sejak 2014, menjadi alarm bahaya bagi masa depan kebebasan pers di Indonesia,” tulis AJI dapal pernyataan persnya pada 13 Februari 2024.
Pers sebagai pilar keempat Demokrasi
Dari segi tata bahasa, demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yakni “demos” dan “kratos”. Demos artinya rakyat atau khalayak, dan kratos bermakna pemerintahan.
Karena itulah, demokrasi bisa diartikan sebagai sistem pemerintahan yang didasari atas kehendak dan kebebasan warga negaranya dalam berpendapat dan menjadi dasar pemerintah dalam mengambil keputusan.
Terkait dengan hal itu, tercetuslah konsep pers sebagai pilar keempat demokrasi sejak abad ke-18 oleh sejumlah filsuf.
Yang pertama kali mengemukakan konsep ini adalah politikus sekaligus filsuf asal Inggris, Edmund Burke pada akhir abad 18.
Ia menyebutkan, kekuasaan politik yang dimiliki oleh pers setara dengan ketiga pilar lainnya yang ada di Inggris saat itu, yakni Tuhan, Gereja dan Majelis Rendah.
Jika dikaitkan dengan konsep modern, utamanya yang ada di Indonesia saat ini, maka posisi pers setara dengan pilar demokrasi lainnya, yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Dan dalam konteks Indonesia, konsep pers sebagai pilar keempat demokrasi pernah ditegaskan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Jimli Asshiddiqie pada 2008 lalu.
Hal itu tertuang dalam pernyataan resmi Mahkamah Konstitusi dalam laman mkri.id pada 19 Mei 2008 dan diakses FTNews pada Minggu (29/12/2024)
Di hadapan para jurnalis media cetak, elektronik dan online, Sabtu (17/5/2008), Jimly mengatakan, pers sebagai pilar keempat demokrasi telah dijamin kemerdekaannya dan diakui keberadaannya oleh UUD 1945.
“Kemerdekaan pers merupakan komitmen pertama yang ada di dalam UUD 1945, bahkan menjadi kalimat pertama dalam Pembukaan. Jadi keliru bila ada yang menganggap pers tidak ada di dalam UUD 1945,” tegas Jimly.
Sama seperti pemahaman filsuf Edmund Burke yang telah dijelaskan di atas, Jimly juga menilai posisi pers setara dengan tiga pilar demokrasi lainnya, yakni kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Dalam pemahaman yang demikian, pers juga memiliki fungsi untuk mengawasi jalannya pemerintahan serta menyalurkan aspirasi rakyat melalui pemberitaannya.
Di alam demokrasi, pers berfungsi sebagai kontrol sosial. Bersama masyarakat, pers memantau dan mengkritisi kebijakan pemerintah serta lambaga-lembaganya.
Jika berkaca pada konsep di atas, maka yang dilakukan Udin dan sejumlah jurnais korban kekerasan sudah benar.
Udin dan jurnalis lainnya yang telah disebutkan di atas benar-benar menjalankan fungsi pers sebagai pilar keempat demokrasi.
Mereka mengawasi jalannya pemerintahan dan mengungkap kebobrokan sikap, perilaku dan kebijakan pemerintah, utamanya yang tidak berpihak pada rakyat.
Namun upaya tersebut dikebiri oleh penguasa. Suara para jurnalis dibungkam dan dihalang-halangi ketika menjalankan tugasnya, bahkan hingga meregang nyawa.
Tak hanya mengkhianati demokrasi, pembungkaman insan pers juga bertentangan dengan Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang berbunyi:
“Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat; hak ini mencakup kebebasan untuk berpegang teguh pada suatu pendapat tanpa ada intervensi, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan tanpa memandang batas-batas wilayah.”
Paradoks insan pers
Jika sebelumnya pers diposisikan sebagai pilar keempat demokrasi yang turut menjaga dan mengawasi jalannya pemerintahan, maka pada perkembangannya, ada sedikit pergeseran dalam realitanya.
Pers yang semula bersikap kritis pada pemerintah atau lembaga-lembaga negara, kini oknum jurnalis yang malah menjalin kemesraan dengan pemerintah itu sendiri.
Dalam level terendah, bentuk “melemahnya iman” lembaga pers dan para jurnalis di hadapan penguasa adalah pemakluman adanya amplop.
Amplop ajau jale, adalah istilah yang istilah beredar di kalangan wartawan, sebagai istilah pengganti uang bensin atau uang terima kasih.
Amplop biasa diberikan lembaga pemerintah atau pihak-pihak tertentu yang berkepentingan dengan pemberitaan, usai melaksanakan konferensi pers atau peliputan sebuah acara atau bahkan wawancara.
Namun amplop bukan hanya sekadar istilah. Amplop merupakan simbol ketertundukan media di hadapan pihak-pihak yang memiliki kepentingan, baik itu kepentingan politik, ekonomi atau hukum.
Dengan amplop, insan pers yang seharusnya kritis, akan melemah di hadapan penguasa.
Amplop juga dapat membuka ruang kompromi antara pihak yang berkepentingan dengan para jurnalis, sehingga fungsi kontrol pers makin memudar.
Hingga kini tak ada data pasti, berapa jumlah wartawan atau jurnalis yang menerima amplop di lapangan. Namun diduga jumlahnya lebih banyak dibandingkan jurnalis yang menolak amplop.
Kasus Damar Sinuko
Contoh kekinian mengenai paradoks insan pers sebagai penjaga pilar keempat demokrasi adalah yang ditunjukkan oleh Damar Sinuko.
Damar adalah seorang jurnalis yang bekerja di CNN Indonesia dan kini terlibat dalam kasus pembunuhan Gamma Rizkynata Oktafandy.
Gamma merupakan siswa SMKN 4 Semarang korban penembakan oleh oknum polisi di Semarang, Jawa Tengah, pada akhir November 2024.
Damar, bersama dengan anggota kepolisian Polrestabes Semarang, diduga telah mengintimidasi keluarga Gamma agar menyelesaikan perkara ini secara damai dan tidak melanjutkannya ke jalur hukum.
Informasi ini dibagikan oleh salah satu anggota keluarga Gamma yang enggan diidentifikasi demi alasan keamanan.
Keluarga juga melaporkan bahwa saat mendatangi mereka, anggota polisi tersebut membawa seorang wartawan.
"Kalau dari Kapolrestabesnya datang bareng wartawan. Jadi istilahnya kita diminta supaya bikin tanda tangan pernyataan supaya tidak tersebar atau berkembang ke mana-mana, maka kita disuruh mengikhlaskan," ujar anggota keluarga korban yang identitasnya disembunyikan itu.
Hingga saat ini, belum ada informasi lebih lanjut mengenai identitas wartawan yang dibawa oleh pihak kepolisian.
Namun, berdasarkan penjelasan keluarga korban, wartawan yang mengintervensi tersebut digambarkan bertubuh gempal dan berkulit putih, ciri yang mirip dengan Damar.
Sebelumnya, sosok Damar Sinuko tidak begitu dikenal publik. Namun, FTNews melakukan penelusuran digital untuk menemukan informasi lebih lanjut mengenai dirinya.
Dari profil akunnya di X @filipus_damar, terungkap bahwa Damar tinggal di Kota Semarang, meski lokasi tepatnya masih tidak diketahui.
Dalam akun tersebut, ia juga pernah membagikan foto dirinya bersama berbagai tokoh, termasuk ulama kharismatis Nahdlatul Ulama, Mustofa Bisri atau Gus Mus, dengan keterangan,
“Sejenak malam bersama abah @gusmusgusmu,” pada salah satu unggahannya.
Ketika keterlibatannya dalam kasus Gamma terungkap, akun X Damar tiba-tiba menghilang, yang diduga sebagai upaya untuk menghapus jejak digitalnya.
Damar juga dikenal dekat dengan kepolisian, seperti terlihat dalam unggahan akun X @Jateng_Twit pada 3 Desember 2024, yang memposting foto Damar bersama beberapa orang, salah satunya diduga Kapolrestabes Semarang Kombes Irwan Anwar, dalam momen santai di sebuah tempat makan.
Hubungan Damar dengan kepolisian terlihat jelas ketika ia diangkat menjadi ketua DPD Jawa Tengah dari Badan Koordinasi Nasional Garda Mencegah dan Mengobati (Bakornas GMDM) pada Agustus 2020.
Organisasi ini memiliki misi memerangi narkoba dan berfungsi sebagai mitra Badan Narkotika Nasional (BNN).
Irjen Polisi Arman Depari, yang saat itu menjabat sebagai Deputi Pemberantasan BNN, memberikan apresiasi kepada Damar atas perannya tersebut, menyatakan,
“GMDM itu mitra resmi BNN, Polri dan TNI. Fokus GMDM kan perang terhadap narkoba, langkahnya harus cepat dinamis, sehingga butuh anak muda untuk memimpin organisasi. Sosok Damar kita kenal betul, dia jurnalis muda yang pintar berorganisasi”, ujar Arman ketika itu.
Penelusuran FTNews mengenai Damar di dunia maya mengarah kepada akun X @KING_RAJA_PWS_ pada 4 Desember 2024.
Akun itu menyatakan Damar sebelumnya bekerja di Trans7 sebelum pindah ke CNN Indonesia.
Di luar ruang redaksi, Damar juga aktif dalam organisasi profesi jurnalis yang bernaung di bawah lembaga pemerintah.
"Dia adalah Ketua Forum Wartawan Polda Jateng dan Ketua Forum Wartawan Pemprov Jateng," ungkap akun tersebut.
Akun tersebut juga menyebutkan bahwa Damar telah menjalin kedekatan dengan institusi kepolisian selama sekitar 15 tahun.
Selain memiliki hubungan yang erat dengan kepolisian dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Damar juga dilaporkan terlibat sebagai bagian dari tim sukses untuk salah satu calon gubernur yang bertanding dalam Pilkada Serentak 2024 mendatang.
“Pada Pilkada 2024, Damar menjadi tim media cagub nomor 2 Lutfi,” lanjut akun itu.
Atas dasar itulah, Pemimpin Redaksi CNN Indonesia, Titin Rosmasari menyatakan telah mencopot anak buahnya itu dari tugas-tugas keredaksian.
Namun apakah sanksi itu cukup? Jika semua informasi seputar Damar Sinuko adalah benar adanya, maka Damar menjadi sosok sempurna dari paradoks insan pers di Indonesia.
Damar Sinuko juga tak sendiri
Sebagaimana jumlah jurnalis yang menerima kekerasan dalam menjaga demokrasi ada beberapa, jumlah jurnalis yang setipe dengan Damar Sinuko juga tak tunggal.
Watak jurnalis yang diduga gemar berlindung dekat dengan penguasa juga terlihat pada sosok kontributor Metro TV, Hilman Mattauch.
Jurnalis yang sehari-hari bertugas di DPR RI ini terseret kasus dugaan korupsi E-KTP pada November 2017.
Kasus tersebut melibatkan politikus Partai Golkar sekaligus Ketua DPR RI saat itu, Setya Novanto
Hilman dinilai memiliki kedekatan khusus dengan Setya Novanto, atau akrab disapa Setnov.
Ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hendak menjemput paksa Setnov pada 15 November 2017, ketua DPR RI itu menghilang.
Ia lalu disebut-sebut bersembunyi di apartemen milik Hilman. Karena itulah, Hilman diduga ikut menghalangi proses hukum terhadap Setnov.
Dan ketika mobil Setnov mengalami kecelakaan tunggal di kawasan Permata Hijau, Jakarta Barat, Hilman adalah sosok yang duduk di balik kemudi mobil tersebut.
Dua kasus di atas, kasus Damar Sinuko dan Hilman Mattauch, bisa menjadi contoh wajah jurnalis jika ia menyimpang dari tugas mulianya sebagai pilar ke-4 demokrasi
Pers seharusnya berada di posisi berseberangan dengan pemerintah. Menjadi pengawas di barisan terdepan, yang mengingatkan pemerintah jika alpa, yang meluruskan jika pemerintah keluar jalur.
Pers memastikan pemerintah menjalankan fungsinya dengan baik, sekaligus pemberi pencerahan pada masyarakat.
Namun jika nilai luhur itu tercemar dengan sikap pragmatis, maka pers akan menjadi kaki tangan penguasa.
Nilai berita yang disajikan pun jadi selera pemberi amplop, pers akan mandul. Perannya dalam mencerdaskan bangsa akan berubah jadi sebaliknya.
Professionalisme dan integritas jurnalis menjadi tumpul. Liputan hanya sekadar rutinitas namun hampa, ibarat tubuh tanpa roh, sia-sia.
Mungkin insan pers harus melihat kembali sosok wartawan Harian Bernas, Udin semasa hidupnya.
Sebagai wartawan, Udin tak hanya menulis, namun juga mengawal kebenaran melalui ujung penanya.
“Mas Udin selalu bilang, kalau memang ada kesalahan, ya, harus diberitakan sesuai fakta. Memang begitu kerjanya wartawan,” kata Marsiyem, istri Udin, pada 2015 lalu, dikutip dari Rappler Indonesia.