Pemerintah Rencana Turunkan PPN, Ekonom: Bisa Dorong Pertumbuhan 5,3 Persen Tahun 2026

Rencana pemerintah menurunkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tahun depan dianggap berani, mengingat tekanan fiskal yang mendera. Namun di sisi lain, penurunan PPN itu bisa membantu pemulihan daya beli masyarakat dan menggerakkan sektor riil.
Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, Fakhrul Fulvian, menilai kebijakan ini dapat menjadi katalis yang memecah stagnasi konsumsi rumah tangga yang terjadi dalam dua tahun terakhir.
“Sejak penyesuaian PPN dilakukan beberapa waktu lalu, terlihat adanya pergeseran pola konsumsi rumah tangga. Porsi tabungan dan dana pihak ketiga di sektor rumah tangga terus menurun, menandakan tekanan pada kemampuan konsumsi masyarakat,” ujar Fakhrul dalam keterangannya, Jumat (17/10/2025), dilansir InfoPublik.
Baca Juga: Double Check Sabtu 28 Juni 2025: Stimulus Ekonomi Bisa Dongkrak Ekonomi?
Ia menegaskan, penurunan PPN tidak hanya berdampak pada konsumsi jangka pendek, tetapi juga berkontribusi terhadap pemulihan struktur ekonomi nasional yang lebih sehat dan inklusif.
Dua Dampak Strategis
Menurut Fakhrul, kebijakan penurunan PPN akan memunculkan dua dampak strategis. Pertama, menggairahkan sektor riil dan meningkatkan konsumsi rumah tangga, karena turunnya harga barang dan jasa akan langsung terasa di pasar.
Baca Juga: UMKM Indonesia Sulit Berkembang, Tom Lembong: Ekonomi Indonesia Sangat Lemah
“Efek domino-nya akan mendorong aktivitas di sektor padat karya seperti makanan-minuman, ritel, pariwisata, dan logistik,” jelasnya.
Kedua, mendorong transformasi usaha informal ke sektor formal. Dengan beban pajak konsumsi yang lebih ringan, pelaku usaha kecil menengah akan memiliki insentif lebih besar untuk masuk ke ekosistem formal.
“Ini bukan semata soal tarif pajak yang lebih rendah, tetapi soal membuka akses mereka terhadap pembiayaan dan pasar yang lebih luas,” tambahnya.
Penurunan PPN Dapat Perluas Basis Pajak
Penurunan PPN tidak otomatis mengurangi pendapatan negara. Dalam jangka menengah, justru dapat memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan fiskal karena publik melihat arah kebijakan yang berpihak pada sektor riil dan masyarakat menengah.
Untuk menjaga kesinambungan fiskal, Fakhrul mendorong agar pemerintah menjalankan reformasi penerimaan non-PPN secara paralel. Ia menyoroti dua agenda penting: Pertama, memformalkan kembali sektor-sektor yang mengalami peningkatan ilegalitas, seperti peredaran rokok tanpa pita cukai dan perdagangan lintas batas yang rawan miss-invoicing.
Kedua, membangun sistem perpajakan dan kepabeanan yang berkeadilan, dengan pendekatan compliance by design — bukan sekadar penegakan hukum, melainkan penyederhanaan prosedur dan transparansi layanan.
Pertumbuhan Ekonomi Bisa Tembus 5,3 Persen Tahun 2026
“Penerimaan negara tidak harus dikejar lewat tarif tinggi, tetapi melalui sistem yang dipercaya dan adil. Bila ekonomi formal tumbuh, penerimaan pajak akan meningkat secara alami,” tegas Fakhrul.
Dengan kombinasi kebijakan fiskal yang adaptif, penurunan PPN, serta peningkatan daya beli dan formalisasi ekonomi, Fakhrul memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat menembus di atas 5,3 persen pada tahun 2026.
“Ini momentum bagi pemerintah untuk mengembalikan optimisme ekonomi domestik. Kita tidak bisa menunggu investasi tumbuh dengan sendirinya. Konsumsi harus dihidupkan kembali sebagai fondasi utama agar kredit dan investasi ikut bergerak. Penurunan PPN adalah langkah berani dan tepat untuk itu,” pungkasnya.