Pemerintahan Prabowo Subianto Dinilai Salah Langkah, Salah Satunya Cukai Rokok 2025 Tak Naik
Ekonomi Bisnis

Keputusan Presiden Prabowo Subianto dengan tidak menaikkan cukai rokok pada 2025 dinilai sebagai sebuah langkah yang keliru, khususnya dalam 100 hari pertama kerja pemerintah. Tidak naiknya cukai rokok itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.96 tahun 2024.
Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) memandang kebijakan tersebut sebagai sebuah kemunduran dalam pengendalian tembakau.
Baca Juga: Gubernur Helmi: Dana Bagi Hasil untuk BPJS Gratis dan Infrastruktur Bermanfaat
“Kami menyayangkan bahwa langkah seperti ini diambil di idalam 100 hari pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran,” ucap CEO CISDI, Diah Satyani Saminarsih dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (18/12).
Baca Juga: CISDI Kecewa, Isu Kesehatan di Debat Capres Terlalu Permukaan
Menurutnya, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah seharusnya selalu berpihak kepada populasi yang rentan. Namun, keputusan tidak menaikkan cukai rokok dianggap sebagai kemunduran dalam pengendalian tembakau.
Padahal, cukai bisa menjadi salah satu instrumen paling efektif untuk menekan prevalensi perokok, melindungi generasi muda serta mendukung pembangunan kesehatan yang berkelanjutan.
Diah Satyani menyampaikan, masyarakat sebenarnya memiliki ekspektasi tinggi terhadap rencana pembangunan Presiden Prabowo Subianto yang memiliki tujuh prioritas, di mana empat di antaranya berkaitan dengan kesehatan yaitu TBC, screening kesehatan gratis, perbaikan rumah sakit dan program makan bergizi gratis.
“Tapi langkah yang diambil sekarang bertentangan dengan empat hal tadi. Jadi kami sangat menyayangkan bahwa apa yang menjadi prioritas, tidak disokong dengan regulasi yang dibutuhkan,” katanya.
Empat prioritas terkait kesehatan itu sebenarnya juga perlu biaya tinggi. Melalui cukai rokok, negara berpotensi mendapatkan pemasukan tambahan untuk kesehatan. Tambahan itu seharusnya bisa dimanfaatkan untuk mengerjakan salah satu prioritas kerja Prabowo Subianto seperti menghilangkan penyakit TBC.
“Bisa dialokasikan untuk pemberantasan TBC yang salah satu beban penyakit karena rokok, dan di mana Indonesia menjadi negara kedua terbesar di dunia. Jadi ini kami amat sangat menyayangkan,” tandasnya.
Sementara itu, Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) menemukan bahwa harga rokok sangat mempengaruhi jumlah perokok aktif.
Saat ini, harga rokok di Indonesia dinilai masih terlalu murah. Sehingga salah satu dampaknya adalah menyebabkan jumlah perokok aktif di Indonesia masih sangat banyak.
Data dari Survei Kesehatan Indonesia tahun 2023 menunjukkan bahwa jumlah anak usia 10 sampai 18 tahun yang merokok sekitar 7,4 persen.
Ketua PKJS-UI, Aryana Satrya menuturkan bahwa awalnya anak menjadi perokok dikarenakan mencontoh orang terdekatnya.
“Kalau kita melihat anak-anak itu memang terpengaruh oleh role model, mungkin di rumahnya. Kemudian juga oleh teman-temannya, beberapa survei menunjukkan bahwa teman sebayanya kalau merokok maka kemungkinan anak akan merokok,” ucap Aryana.
Kalau pun sudah muncul kesadaran untuk berhenti atau mengurangi konsumsi rokok, anak akan mengalami banyak kesulitan. Di samping karenan bisa menjadi sudah alami kecanduan nikotin, harga rokok di Indonesia yang dinilai masih terlalu murah turut menjadi penyebab anak sering kambuh merokok.
Sesuai data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia yang menemukan bahwa rokok menempati peringkat kedua dalam pengeluaran terbesar masyarakat Indonesia.
“Karena masih murahnya harga itu, anak-anak yang berusaha berhenti merokok, dia kambuh lagi. Jadi istilahnya smoking relapse ini tinggi sampai 50 persen,” ungkapnya.
Penelitian dari PKJS UI terhadap anak-anak yang hidup di jalanan ditemukan bahwa kebanyakan dari mereka mengonsumsi jenis rokok yang harganya relatif lebih premium yaitu sigaret kretek mesin dan sigaret putih mesin.