Rahasia Penyembuhan Suku Dayak Taboyan: Saat Alam dan Roh Bekerja Menyatu

Tradisi penyembuhan masyarakat Dayak Taboyan di pedalaman Kalimantan Tengah menarik perhatian peneliti BRIN. Masyarakat Dayak Taboyan hingga kini masih teguh menjaga tradisi penyembuhan yang diturunkan leluhur mereka. Meskipun arus modernisasi sudah mendominasi pengobatan medis berbasis teknologi.
Di wilayah yang akses kesehatannya terbatas, balian, sebutan untuk penyembuh tradisional, tetap menjadi sandaran utama warga dalam menghadapi berbagai penyakit, baik fisik maupun gangguan jiwa.
Para periset Pusat Riset Agama dan Kepercayaan (PR AK) BRIN mendiskusikan hal tersebut dalam sesi diskusi “Pengobatan Tradisional Masyarakat Dayak Taboyan Kalimantan Tengah”, baru-baru ini.
Eksistensi Pengobatan Tradisional Dayak
Dikutip dari laman BRIN, Setyo Boedi Oetomo dalam paparannya membahas eksistensi pengobatan tradisional dayak dalam konteks masyarakat pedalaman Kalimantan Tengah sub etnis Dayak Tabayon.
Ia menjelaskan bahwa di sana masih melakukan praktik pengobatan tradisional berbasis kepercayaan lokal Kaharingan. Praktik ini masih diterapkan di Desa Panaen, Kecamatan Teweh Baru, Kabupaten Barito Utara.
Ilustrasi
Dijelaskannya, desa tersebut terletak sekitar sembilan jam perjalanan darat dari Palangka Raya, melewati jalan Trans-Kalimantan yang sebagian rusak akibat aktivitas tambang dan perkebunan sawit.
“Pengobatan tradisional di pedalaman masih sangat dibutuhkan karena keterbatasan fasilitas medis modern,” ujar Boedi. Diimbuhkannya, rumah sakit terdekat saja berjarak ratusan kilometer, sehingga balian dan bidan kampung menjadi penolong utama warga.
Boedi lalu menuturkan perjalanan menuju lokasi penelitian di sana yang penuh tantangan, seperti jalan berlubang, jembatan kayu sederhana, hingga risiko longsor dan gangguan satwa liar. Namun, sambutan masyarakat yang ramah membuat tim peneliti mudah diterima.
Untuk dapat diterima masyarakat, tim peneliti menerapkan pendekatan partisipatif dengan melibatkan peneliti lokal sebagai mediator budaya. Mereka menginap di rumah tokoh adat dan mengikuti tata cara adat saat memasuki hutan, termasuk membawa sesajen kecil berupa paku, beras, dan uang logam sebagai simbol izin kepada roh penjaga alam.
“Pendekatan ini penting agar masyarakat merasa dihormati dan bersedia berbagi pengetahuan tanpa curiga,” jelasnya. Ia menekankan bahwa penelitian ini bukan untuk eksploitasi, melainkan pendokumentasian pengetahuan lokal.
Proses Ritual Pengobatan Tradisional Dayak Taboyan
Selanjutnya, Mustolehudin membahas prosesi ritual pengobatan tradisional Dayak Taboyan. Ia menguraikan bahwa ritual pengobatan tradisional Dayak Taboyan dipimpin oleh balian bakawat, bentuk lokal dari tradisi penyembuhan Dayak. Diungkapkannya, peran balian zaman dahulu dapat dilakukan oleh laki-laki (balian dawo) maupun perempuan (balian dadas).
Ritual biasanya berlangsung selama tiga hari dua malam, dengan berbagai perlengkapan seperti campuran bahan lokal seperti kelapa tua, beras serta sesaji berupa telur, janur, bunga, dan patung kecil dari adonan tepung beras (saradiri) yang menjadi media pemindahan penyakit.
Upacara diiringi musik tradisional berupa kendang dan gong, menambah suasana magis di sekitar rumah balian. Simbol-simbol seperti tangga balian dan penegen ringin melambangkan hubungan antara dunia manusia dan roh leluhur.
Banyak Mantra Gunakan Idiom Islam seperti Basmalah dan Syahadat
Setelah ritual selesai, makanan persembahan seperti ayam rebus, lemang, dan kue tradisional disantap bersama sebagai bagian dari rasa syukur.
“Keberhasilan pengobatan sangat bergantung pada keyakinan pasien,” jelas Mustolehudin. Dalam kepercayaan Dayak, disebutnya, penyembuhan terjadi ketika keseimbangan antara manusia dan roh telah dipulihkan.
Menariknya, dalam praktik pengobatan, banyak mantra yang menggunakan idiom Islam seperti basmalah dan syahadat. Hal ini menunjukkan adanya sinkretisme antara ajaran Islam dan tradisi Kaharingan. Itu mencerminkan dinamika spiritual yang lentur dan adaptif.
Kepercayaan pada Roh Roh
Lalu, Joko Tri Haryanto membahas eksistensi roh-roh dalam pengobatan tradisional suku Dayak Tabayon. Dijelaskannya, kepercayaan terhadap roh dan makhluk halus dalam masyarakat Dayak Taboyan bukan sekadar simbol, melainkan bagian dari sistem kosmologi yang hidup. Mereka meyakini adanya tiga lapisan dunia: dunia atas (tempat para dewa), dunia tengah (tempat manusia), dan dunia bawah (tempat roh jahat atau kunyang).
“Penyakit dalam pandangan mereka bukan hanya persoalan biologis, tetapi tanda rusaknya relasi manusia dengan alam dan roh penjaga,” terang Joko. Karena itu, balian berfungsi sebagai mediator spiritual yang menegosiasikan pemulihan keseimbangan antara dunia manusia dan dunia gaib.
Dalam praktik sehari-hari, masyarakat selalu meminta izin sebelum mengambil hasil hutan atau menebang pohon. Mereka percaya, jika tidak dilakukan dengan hormat, seseorang bisa terkena “kepohonan”. Maksudnya, penyakit akibat gangguan roh karena melanggar pantangan adat.
Kayu Bajakah Kayu Antikanker
Salah satu contoh yaitu kayu bajakah yang kini dikenal luas karena berkhasiat sebagai antikanker, juga berakar dari pengetahuan lokal Dayak Taboyan. Namun, bagi mereka, kayu ini hanya berkhasiat jika diambil dengan izin dan niat baik, tanpa itu bajakah dianggap tidak memiliki daya penyembuh.
Melalui penelitian ini, BRIN berupaya mendokumentasikan sekaligus menegaskan bahwa pengobatan tradisional Dayak Taboyan bukan sekadar warisan budaya, tetapi sistem pengetahuan yang menyatukan tubuh, jiwa, dan alam.
“Dalam dunia yang semakin modern, pengetahuan lokal seperti ini penting untuk dipahami, bukan diromantisasi atau dieksploitasi,” tegas Joko. Karena, tradisi penyembuhan mereka mengajarkan kita tentang keseimbangan, penghormatan terhadap alam, dan pentingnya spiritualitas dalam menjaga kesehatan.
Dengan demikian, di tengah keterpencilan geografis dan tekanan modernisasi, masyarakat Dayak Taboyan tetap menjadi penjaga warisan pengetahuan leluhur. Ini sebagai sebuah sistem yang bukan hanya menyembuhkan tubuh, tetapi juga merawat harmoni antara manusia, alam, dan roh.