Rusia Terus-menerus Gempur Ukraina, Trump Berang: AS Pertimbangkan Beri Sanksi Besar-besaran pada Rusia
Setelah terkesan melunak pada Rusia, Presiden Donald Trump kini marah pada Rusia. Ini lantaran Rusia terus membombardir Ukraina dengan serangan rudal besar-besaran di masa upaya Trump untuk membawa Ukraina-Rusia ke perundingan perdamaian. Yang teranyar Rusia membombardir Kota Pelabuhan Ukraina, Odessa sehingga memicu kebakaran dan kerusakan infrastruktur energi setempat.
Lantas Trump memposting peringatan keras pada Rusia di platform Truth Social miliknya, Trump menyebut ia 'sangat mempertimbangkan' untuk mengenakan sanksi dan tarif terhadap Rusia hingga gencatan senjata dan perjanjian damai dicapai dengan Ukraina.
Ini menandai perubahan nada setelah Trump membuat khawatir sekutu dengan kata-kata hangat tentang betapa dipercayanya Presiden Vladimir Putin dan seruan agar Moskow diterima kembali ke G7.
Baca Juga: Heboh Pria Eks Marinir Gabung Tentara Rusia Perang di Ukraina, Begini Kata TNI AL
Seorang pejabat senior pemerintah mengatakan 'presiden telah mengintensifkan eskalasi Rusia saat ia mencoba untuk membawa kedua belah pihak ke meja perundingan.'
Trump menggunakan platform Truth Social-nya untuk mengekspresikan kemarahannya. 'Berdasarkan fakta bahwa Rusia benar-benar "menggempur" Ukraina di medan perang saat ini, saya sangat mempertimbangkan Sanksi Perbankan, Sanksi, dan Tarif berskala besar terhadap Rusia hingga Gencatan Senjata dan PERJANJIAN PENYELESAIAN AKHIR PERDAMAIAN TERCAPAI,' tulisnya.
'Kepada Rusia dan Ukraina, segera duduk bersama di meja perundingan, sebelum terlambat.'
Baca Juga: Ukraina Siap Gencatan Senjata dengan Rusia, AS Kembali Beri Bantuan Militer dan Informasi Intelijen pada Ukraina
Ia tidak memberikan rincian lebih lanjut tentang rencananya.
Namun, AS, Eropa, dan negara-negara lain telah memberlakukan ribuan sanksi terhadap Rusia—yang difokuskan pada industri minyak dan sektor keuangan—yang dirancang untuk melumpuhkan ekonominya dan meningkatkan tekanan untuk mengakhiri perang.
Kata-kata keras Trump muncul saat Rusia terus melancarkan serangan terhadap Ukraina, dan di tengah tanda-tanda bahwa Rusia akan melancarkan serangan besar-besaran di musim semi. Dikutip dari Daily Mail.
Trump berjanji untuk mengakhiri konflik pada hari pertama masa jabatannya sebagai presiden.
Kompleksitas tugas tersebut berarti ia telah mengabaikan target tersebut tetapi masih ingin mengakhiri perang secepat mungkin.
Pemerintahannya telah menghentikan bantuan militer dan intelijen ke Ukraina untuk menekannya agar mau berunding.
Namun, negara-negara Eropa sempat khawatir Trump telah menjadi terlalu lunak terhadap Rusia, yang memicu perang dengan menginvasi tiga tahun lalu.
Hal itu terjadi setelah pertemuan yang membawa bencana di Ruang Oval dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, ketika keduanya berselisih pendapat tentang apakah Putin dapat dipercaya.
Zelensky pergi sebelum makan siang dan konferensi pers dan sejak itu menghabiskan waktu untuk menggalang sekutu lainnya.
Dan minggu lalu pemerintahan Trump memberikan suara menentang resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menandai ulang tahun ketiga perang dengan mengutuk invasi Rusia.
Pada hari Kamis, muncul sekutu utama yang mempertimbangkan apakah akan menahan intelijen sensitif dari Washington karena khawatir itu akan berakhir dengan dibagikan kepada Rusia.
Pada saat yang sama, Rusia tampaknya bersiap untuk serangan musim semi yang besar.
TV pemerintah Rusia mengungkapkan bahwa Moskow sedang mempersiapkan 'pasukan cadangan besar' dan 'unit besar' yang menurut para analis akan '100 persen maju' melawan pasukan Ukraina begitu cuaca berubah.
Hari Jumat membawa putaran diplomasi yang sangat cepat saat Trump mempertahankan kecepatan yang cepat selama dua bulan pertamanya menjabat.
Ia juga mengumumkan bahwa ia telah menulis surat kepada pemimpin tertinggi Iran yang menawarkan dimulainya kembali perundingan nuklir.
"Saya telah menulis surat kepada mereka yang mengatakan, "Saya harap Anda akan bernegosiasi karena jika kita harus melakukan intervensi militer, itu akan menjadi hal yang mengerikan,"' katanya dalam sebuah wawancara yang disiarkan oleh Fox Business News.
Trump menarik AS keluar dari kesepakatan nuklir internasional dengan Teheran pada tahun 2018, dan negosiasi yang kadang-kadang gagal selama pemerintahan Biden.***
Sumber: Daily Mail