Tata Cara Salat Jumat Lengkap: Berikut Contoh-Contohnya
Sosial Budaya

Umat Islam terutama bagi kaum laki-laki diwajibkan untuk salat Jumat berjamaah di masjid. Kewajiban itu dilakukan pada waktu salat zuhur sebagai pengganti ibadah tersebut.
Salat Jumat merupakan ibadah maḥḍah. Sedangkan prinsip ibadah maḥḍah adalah terlarang kecuali ada perintah.
Oleh karenanya tata cara salat Jumat harus mengikuti petunjuk dan sesuai dengan tuntunan berdasarkan Alquran dan hadis Nabi Muhammad SAW. Hal ini didasarkan kepada firman Allah swt,
Baca Juga: Apakah Sah Hukumnya Salat Jumat di Tangga Masjid?
… وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ.
Artinya: “… Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah sangat keras siksa-Nya” [Q.S. al-Ḥasyr: 7].
Prinsip umum tata cara salat Jumat sama dengan salat fardu lainnya, yakni dilakukan secara berjamaah, menghadap kiblat, pengaturan shaf dan aturan lainnya dalam ketentuan salat berjamaah. Semua ketentuan salat berjamaah pada salat lima waktu berlaku pula pada aturan salat Jumat (lihat Materi Munas Tarjih XXX tahun 2018 di Makassar tentang Tata Cara Salat Berjamaah hal. 244).
Baca Juga: Ceramah Kajian Hati Diduga Settingan, Suami Michelle Noviana Buka Suara
Ada beberapa hal penting berkaitan dengan tata cara salat Jumat yang perlu dijelaskan seperti dikutip situs Muhammadiyah, di antaranya adalah:
Salat Jumat Dilaksanakan di Masjid
Salat Jumat. (Meta AI)
Para ulama banyak merumuskan tentang syarat sahnya salat Jumat, Wahbah az-Zuhailī merumuskan ada sebelas syarat sahnya Jumat di antaranya salat Jumat dilaksanakan di masjid dengan berjamaah (lihat al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh II/1291, bāb Syurūṭ ṣiḥḥah al-Jumu‘ah: Iḥdā ‘Asyrata).
Dalam kondisi tertentu dibenarkan pelaksanaan salat Jumat tidak di masjid, yakni dapat dilaksanakan di tempat selain masjid. Kebolehan ini bisa disebabkan karena tidak ada masjid yang dapat dipergunakan salat Jumat seperti di ruang sekolah, kantor atau ruang publik lainnya.
Sebab lain dibolehkan salat Jumat di luar masjid karena kapasitas masjid tidak dapat menampung banyak jamaah sehingga harus melebar ke ruangan lain di luar masjid (lihat Tanya Jawab Agama jilid II/92 dan III/92).
Sebagai contoh salat Jumat yang dilaksanakan di Masjidil Haram pada musim haji, hampir selalu meluber sampai ke luar masjid seperti halaman masjid, di hotel-hotel sekitarnya hingga ke jalan-jalan. Dalam keadaan ini, salat Jumat tetap sah karena masih adanya ketersambungan antara jamaah yang di luar masjid dengan jamaah yang di dalam masjid dan kesatuan tempat antara imam dengan makmum meski terhalang dinding atau yang lain.
Peristiwa seperti ini pernah terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW beliau menjadi imam salat di balik tabir sedangkan makmum terpisah dengan tabir dan makmum mengikuti imam dari suara Nabi sebagaimana diterangkan dalam hadis berikut.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَتْ لَنَا حَصِيرَةٌ نَبْسُطُهَا بِالنَّهَارِ، وَنَحْتَجِرُهَا بِاللَّيْلِ، فَصَلَّى فِيهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَسَمِعَ الْمُسْلِمُونَ قِرَاءَتَهُ، فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ … [رواه أحمد].
Artinya: “Dari ‘Āisyah (diriwayatkan) ia berkata: Kami mempunyai sehelai tikar yang kami bentangkan di siang hari dan kami jadikan dinding di malamnya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam salat pada suatu malam di tempat yang didindingi tikar itu, seketika kaum muslimin mendengar bacaannya dan mereka pun salat dengan mengikuti salatnya Nabi (dari balik tabir) …” [H.R. Aḥmad].
Hal ini juga terjadi pada masa sahabat yang dilakukan oleh Anas bin Malik, peristiwa ini digambarkan dalam riwayat berikut,
عَنْ صَالِحِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ: رَأَيْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ صَلَّى الْجُمُعَةَ فِي بُيُوتِ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفِ، فَصَلَّى بِهِمْ بِصَلَاةِ الْإِمَامِ فِي الْمَسْجِدِ، وَبَيْنَ بُيُوتِ حُمَيْدٍ وَالْمَسْجِدِ الطَّرِيقُ [رواه الشافعي].
Artinya: “Dari Shālih bin Ibrāhīm (diriwayatkan) ia berkata: Aku melihat Anas bin Mālik salat Jumat di rumah Humaid bin ‘Abdurraḥmān bin ‘Auf, maka ia salat bersama mereka mengikuti salat imam yang berada di masjid, sedangkan di antara rumah-rumah Humaid dan masjid adalah jalan” [H.R. asy-Syāfi‘ī].
Dari kedua riwayat tersebut dapat dipahami bahwa salat Jumat dapat dilakukan di luar masjid dengan tetap mengikuti induk salat dan pada kesatuan tempat. Oleh karena itu salat Jumat yang dilaksanakan mengikuti induk jamaah, meskipun terhalang dinding, ruang, jalan atau sungai, selama masih terkoneksi atau terhubung dengan jamaah induknya, maka salat Jumatnya tetap sah.
Dalam kondisi tertentu untuk membantu ketertiban salat Jumat berjamaah dapat pula digunakan alat penghubung antara imam dan makmum berupa media layar yang menampilkan gambar seperti LCD/LED dan media lain dalam bentuk suara seperti loud speaker atau lainnya.
Kesatuan tempat antara imam salat Jumat beserta makmumnya merupakan bagian dari syarat sah salat Jumat. Hal ini dilakukan secara hakiki (nyata), bukan dalam bentuk lainnya, yakni seorang imam salat di bagian depan dan makmum salat di sudut lainnya di dalam masjid atau seorang salat di luar masjid dengan tetap mengikuti imam di dalam masjid, maka sah salat Jumatnya. (lihat al-Hāwī al-Kabīr II/343, al-Fiqh al-Islamī wa Adillatuh II/1299).
Penataan Shaf Salat Jumat
Masjid. (Pixabay @HansJuergenW)
Imam slat Jumat hendaklah memperhatikan makmum sebelum memulai salat dengan memastikan kesiapan makmum dalam mengikuti salat berjamaah seperti lurus dan rapatnya shaf serta penuhnya shaf depan lebih dahulu baru kemudian shaf berikutnya. Dalil yang menjelaskan hal ini adalah hadis-hadis berikut.
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقْبِلُ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ، قَبْلَ أَنْ يُكَبِّرَ فَيَقُولُ: تَرَاصُّوا، وَاعْتَدِلُوا [رواه أحمد].
Artinya: “Dari Anas (diriwayatkan) ia berkata: Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam menghadapkan wajahnya kepada kami sebelum bertakbir, lalu beliau berkata: Luruskan dan rapatkan” [H.R. Aḥmad].
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam juga bersabda mengenai kerapatan shaf dan kewajiban memenuhi shaf yang ada.
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَتِمُّوا الصَّفَّ الْأَوَّلَ وَالَّذِي يَلِيهِ، فَإِنْ كَانَ نَقْصٌ فَلْيَكُنْ فِي الصَّفِّ الْآخِرِ [رواه أحمد].
Artinya: “Dari Anas (diriwayatkan), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda: Penuhilah shaf pertama kemudian shaf berikutnya, jika ada kurang maka jadikanlah pada shaf akhir” [H.R. Aḥmad].
Makmum yang berjumlah lebih dari satu posisinya berada di belakang imam, berdasarkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam berikut ini.
عَنْ جَابِرٍ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: قَامَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى الْمَغْرِبَ فَجِئْتُ فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَنَهَانِى فَجَعَلَنِى عَنْ يَمِيْنِهِ ثُمَّ جَاءَ صَاحِبٌ لِى فَصَفَفْنَا خَلْفَهُ [رواه أبو داود].
Artinya: “Dari Jābir bin ‘Abdullāh ia berkata, [diriwayatkan] bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam berdiri untuk melakukan salat maghrib, lalu aku datang dan berdiri di sebelah kirinya, maka beliau mencegah aku dan menjadikan aku di sebelah kanannya. Setelah itu datang seorang temanku, lalu kami berdiri (bershaf) di belakang Nabi” [H.R. Abū Dāwūd].
Selain itu, dalam salat berjamaah seorang makmum dituntut juga mengetahui beberapa hal tentang kondisi imam, seperti batal atau tidaknya imam, mengetahui dan mengikuti gerakan salat imam juga seorang makmum tidak mendahului imam. Para ulama mengharuskan adanya keselarasan gerak antara imam dan makmum adalah berdasarkan hadis Nabi SAW:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا، وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا [رواه البخاري].
Artinya: “Dari Abū Hurairah (diriwayatkan) ia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda: Sesungguhnya dijadikan imam itu untuk diikuti, apabila imam takbir maka makmum ikut bertakbir dan apabila imam rukuk maka makmum pun ikut rukuk” [H.R. al-Bukhārī].
Hadis ini dipahami sebagai dalil keharusan mengikuti gerakan salat imam seperti gerakan rukun salat maupun intiqāl (perpindahan). Makmum wajib mengikuti gerakan imam dengan cara melihat langsung gerakan imam, melihat gerakan makmum yang ada di belakang imam atau memperhatikan suara imam (lihat TJA Jilid 2 halaman 92).
Sebagian ulama juga memahami bahwa hadis ini tidak sekedar keharusan mengikuti imam tetapi juga keharusan adanya kesatuan tempat antara imam dan makmum. Artinya, imam dan makmum harus berada pada satu tempat, posisi makmum tidak boleh berada di depan posisi imam, karena yang demikian menjadikan tidak sah salatnya, demikian pandangan dari mazhab Syafii (lihat Syarḥ Ibnu Baṭal 3/389).