Tema dan Makna Hari Raya Waisak 2025
Nasional

Umat Buddha merayakan Hari Raya Waisak 2569 BE yang jatuh pada hari ini, Senin (12/5). Pemerintah pun telah menetapkan Hari Raya Waisak sebagai hari libur nasional guna memberikan kesempatan bagi umat Buddha untuk melaksanakan ritual keagamaan.
Hari Raya Waisak atau dikenal sebagai Tri Suci Waisak adalah peringatan tiga peristiwa penting dalam kehidupan Siddhartha Gautama yakni kelahiran, pencapaian penerangan sempurna, dan wafatnya.Selain itu, Waisak juga menjadi simbol toleransi dan kerukunan antarumat beragama di Indonesia, karena sering kali dirayakan bersama dengan masyarakat dari berbagai latar belakang.
Tema Hari Raya Waisak 2025
Baca Juga: Harapan Presiden Prabowo Subianto di Hari Raya Waisak 2569 BE
Setiap tahunnya, perayaan Waisak mengusung tema yang berbeda-beda. Berdasarkan situs resmi Walubi, Hari Raya Waisak 2025 mengusung tema “Tingkatkan Pengendalian Diri dan Kebijaksanaan Mewujudkan Perdamaian Dunia” dengan subtema “Bersatu Mewujudkan Damai Waisak untuk Kebahagiaan Semua Makhluk”.
Tema dan subtema tersebut tidak hanya berfokus pada ritual keagamaan, tetapi juga menekankan pentingnya nilai-nilai universal seperti kedamaian, kebersamaan, dan kepedulian terhadap sesama makhluk hidup.
Makna Waisak
Baca Juga: Libur Panjang 4 Hari hingga Selasa Pekan Depan, Tanggal Merah Apa?
Tema Waisak 2025 pun mengandung makna khusus. Intinya mengajak umat Buddha untuk memperkuat nilai-nilai pengendalian diri dan kebijaksanaan dalam kehidupan sehari-hari. Pengendalian dan kebijaksanaan menjadi dua pilar dalam melaksanakan kehidupan. Melalui dua nilai ini, umat Buddha diharapkan dapat berkontribusi dalam menciptakan perdamaian yang berkelanjutan.
Menteri Agama Republik Indonesia, Prof. Dr. KH Nasaruddin Umar menyampaikan bahwa puncak peringatan Waisak yang dilaksanakan di Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, hendaknya menjadi momen untuk menyucikan pikiran dan menjernihkan batin tanpa membedakan keyakinan agama.
“Sebagai rumah Ibadah, Borobudur bukan hanya menonjolkan diri sebagai objek wisata saja, melainkan setiap orang yang hadir di Borobudur harus menyucikan pikirannya dan menjernihkan batin seseorang, tidak peduli apapun agamanya,” jelas Nasaruddin.