Triliunan Dolar Dipertaruhkan: Trump Uji Batas Kekuasaan Presiden di Mahkamah Agung
Nasional

Donald Trump kembali menjadi pusat perhatian dalam perdebatan konstitusional Amerika Serikat. Melalui serangkaian kasus hukum, ia berusaha memperluas kewenangannya hingga ke ranah fiskal dan moneter.
Salah satu perkara penting berkaitan dengan kebijakan tarif yang diterapkan semasa pemerintahannya.
Mahkamah Agung dijadwalkan meninjau kasus Trump v. V.O.S. Selections dan Learning Resources v. Trump pada November mendatang. Kedua perkara ini menguji legalitas tarif impor yang diberlakukan secara sepihak oleh Trump.
Baca Juga: Tak Kebal Hukum, Donald Trump akan Dijatuhi Hukuman Kasus Pemalsuan dan Suap pada 10 Januari!
Sejumlah pengadilan federal menilai kebijakan tersebut melampaui otoritas presiden, karena hak memungut pajak secara konstitusional berada di tangan Kongres.
Nilai yang dipertaruhkan sangat besar. Pihak Trump mengklaim kebijakan tarif dapat mengurangi defisit federal hingga 4 triliun dolar AS. Namun, penelitian independen dari Yale’s Budget Lab memperkirakan hanya sekitar 2,4 triliun dolar AS pada periode 2026–2035.
Jika Mahkamah Agung mengesahkan kebijakan itu, Trump pada dasarnya memperoleh hak untuk menetapkan pajak baru tanpa persetujuan legislatif sebuah preseden yang berpotensi mengubah makna pemisahan kekuasaan.
Baca Juga: Sikat WC Donald Trump Beredar dan Laris Manis di Toko Online China : Imbas Perang Tarif?
Impoundment: Sengketa Dana Anggaran
Kasus kedua, Department of State v. AIDS Vaccine Advocacy Coalition, menyangkut praktik impoundment atau penahanan dana federal yang sudah disetujui Kongres. Tradisi hukum Amerika selama puluhan tahun menilai praktik ini ilegal.
Bahkan William Rehnquist yang kemudian menjadi Ketua Mahkamah Agung pernah menegaskan tidak ada dasar konstitusional bagi presiden untuk mengabaikan instruksi Kongres terkait pengeluaran anggaran.
Namun, Mahkamah Agung baru-baru ini memberikan Trump izin sementara untuk menunda penyaluran bantuan luar negeri. Langkah ini menandakan adanya kemungkinan perubahan interpretasi hukum.
Jika penahanan dana akhirnya disahkan secara penuh, presiden akan memiliki kuasa besar dalam mengatur arah pengeluaran negara, meski bertentangan dengan mandat Kongres.
Federal Reserve dan Ancaman Campur Tangan Politik
Donald Trump
Kasus ketiga, Trump v. Cook, membuka babak baru dalam perdebatan soal independensi Federal Reserve. Trump berupaya memecat anggota Dewan Gubernur The Fed, meski undang-undang hanya memperbolehkan pemecatan “karena alasan tertentu.”
Upaya tersebut sempat ditolak pengadilan banding, namun kemungkinan besar akan segera bergulir ke Mahkamah Agung.
The Fed memegang peran vital dalam menjaga stabilitas ekonomi, termasuk menentukan suku bunga dan mengendalikan inflasi. Jika presiden bisa dengan mudah mencopot para gubernurnya, kebijakan moneter akan sangat rentan dipolitisasi.
Hal ini berisiko menjadikan The Fed sebagai instrumen politik jangka pendek, padahal lembaga tersebut dirancang untuk melindungi perekonomian jangka panjang.
Demokrasi Amerika di Persimpangan
Secara keseluruhan, Trump tampak berusaha mengonsolidasikan kendali atas tiga instrumen utama negara: pajak, anggaran, dan kebijakan moneter. Jika berhasil, sistem checks and balances yang menjadi fondasi konstitusi AS akan goyah.
Presiden bisa memungut pajak, menahan dana, bahkan memengaruhi bank sentral tanpa pengawasan berarti.
Konstitusi menegaskan bahwa Kongres adalah lembaga yang berwenang menetapkan pajak dan alokasi anggaran. Namun, jika Mahkamah Agung memihak Trump, klausul tersebut bisa kehilangan makna.
Situasi ini memunculkan kekhawatiran bahwa AS sedang bergerak menuju model pemerintahan yang terlalu terpusat di tangan eksekutif.
Dampak Global yang Mengkhawatirkan
donald trump
Selain persoalan hukum, dampak dari keputusan ini akan terasa secara global. Pasar internasional mengandalkan stabilitas ekonomi AS sebagai jangkar investasi.
Kebijakan yang berubah-ubah akibat intervensi sepihak presiden dapat menciptakan ketidakpastian, menurunkan minat investor, serta memicu volatilitas keuangan internasional.
Lebih jauh lagi, putusan Mahkamah Agung akan menjadi preseden hukum penting. Jika Trump menang, presiden di masa depan baik dari Partai Republik maupun Demokrat dapat memanfaatkan celah yang sama untuk memperluas kekuasaan.
Artinya, bukan hanya demokrasi Amerika yang dipertaruhkan, melainkan juga kredibilitas sistem hukum yang selama ini menjadi rujukan dunia.