USU Dituding 'Sulap' Lahan Jadi Kebun Sawit di Langkat, Warga Tuntut Ganti Rugi
Puluhan warga Desa Poncowarno, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat, kembali menuntut Universitas Sumatera Utara (USU) agar segera menunaikan kewajibannya membayar hak masyarakat atas lahan yang telah dikuasai hampir empat dekade.
Tanah yang disengketakan itu telah digunakan USU sejak 1986, namun hingga kini warga mengaku belum pernah menerima ganti rugi maupun pembagian hasil sebagaimana yang dijanjikan sejak awal.
Koordinator masyarakat Desa Poncowarno, Aspipin Sinulingga, mengatakan lahan seluas sekitar 300 hektare milik warga awalnya diserahkan untuk kepentingan pendidikan.
Baca Juga: Banjir di Sumatera Utara Meluas: Kini Langkat, Binjai, Medan Terdampak
USU kala itu menjanjikan sistem ganti rugi dan bagi hasil, dengan peruntukan sebagai perkebunan percobaan, lokasi penelitian, serta sarana pendidikan mahasiswa.
Namun dalam praktiknya, lahan tersebut justru berubah menjadi perkebunan sawit komersial.
“Plangnya memang perkebunan percobaan, tapi isinya sawit semua dan hasilnya dijual. Tidak pernah ada mahasiswa yang datang meneliti atau melakukan percobaan,” ujar Aspipin, Selasa (16/12/2025).
Baca Juga: Biodata dan Agama M Rizki Rifai, Anggota DPRD Langkat yang Pesta di Kapal Mewah
Ia menjelaskan, total lahan perkebunan mencapai sekitar 500 hektare, dengan 300 hektare di antaranya merupakan tanah milik masyarakat. Meski sawit sudah berproduksi sejak awal 1990-an, warga tidak pernah menikmati hasilnya.
Aspipin bahkan meragukan laporan produksi yang disebut hanya sekitar 100 ton per bulan. “Yang paham sawit pasti tahu, tidak masuk akal 500 hektare cuma menghasilkan 100 ton,” katanya.
Lebih jauh, ia mengungkapkan bahwa warga yang berupaya menagih haknya justru mengalami tekanan dan intimidasi, mulai dari ancaman preman hingga oknum aparat.
“Kami dianggap mengganggu pembangunan, bahkan disebut PKI dan subversif,” tuturnya.
Harapan warga sempat muncul pascareformasi 1998. Pada 2003, melalui mediasi dan inventarisasi lahan, disepakati bahwa 176,56 hektare lahan adalah milik 56 kepala keluarga dan wajib dibayarkan oleh USU.
Dua tahun berselang, USU bahkan mengirimkan surat kepada Camat Salapian yang menyatakan dana ganti rugi telah tersedia. Namun hingga kini, masyarakat mengklaim belum menerima sepeser pun.
Warga menggelar aksi unjuk rasa di USU Jalan Dr Mansyur Medan. [Dok istimewa]
Masalah semakin pelik ketika USU disebut pernah mengklaim telah membayar ganti rugi kepada seluruh 56 kepala keluarga. Berdasarkan data yang diterima warga, hanya 10 orang penerima yang benar-benar warga setempat. Sisanya diduga merupakan pegawai USU yang tidak memiliki tanah di lokasi tersebut.
“Kami pegang datanya. Ini jelas penipuan dan pelanggaran hukum,” tegas Aspipin.
Sementara itu, Kasubag Inventarisasi dan Penghapusan Aset USU, Harun Zulfanudin, menyatakan bahwa tuntutan warga tidak disertai alas hak yang jelas. Menurutnya, USU telah meminta bukti kepemilikan, namun hingga kini belum diterima.
“USU memiliki sertifikat hak pakai dari BPN. Kami minta bukti dari masyarakat, entah surat lurah, SK camat, atau sertifikat,” kata Harun.
Menanggapi hal tersebut, Aspipin menilai pernyataan USU sebagai bentuk pengingkaran kesepakatan lama. Ia menegaskan bahwa data kepemilikan sudah berulang kali diinventarisasi dan disepakati bersama.
“Tahun 1986 belum ada SHM atau SK camat seperti sekarang. Data itu semua sudah di tangan USU sejak lama,” ujarnya.
Aspipin juga menyentil pernyataan pemerintah yang kerap menyebut sawit sebagai sumber kemakmuran masyarakat. Menurutnya, kasus di Desa Poncowarno justru menunjukkan lemahnya pengawasan negara.
“Ladang kami diambil, hasilnya tidak kami nikmati. Sampai kapan pun kami akan menuntut hak kami,” pungkasnya.