Yusril Ihza Mahendra Nilai Pemberian Amnesti ke Koruptor Tidak Melanggar Undang-Undang
Hukum

Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia (HAM), Imigrasi dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra menegaskan rencana pemberian amnesti Presiden Prabowo Subianto kepada para koruptor tidak lah melanggar Undang-Undang (UU).
Ia menyebut bahwa UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) memang jelas menyatakan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapus sifat pidana dari perbuatan korupsi. Namun, ketentuan pemberian amnesti dari Presiden telah diatur dalam ketentuan lain yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945.
“Ada yang mengatakan itu bertentangan dengan Undang-Undang. Tapi saya mengatakan begini, harus baca undang-undang lain. Undang-undang lain itu lebih tinggi sumbernya UUD 1945, yaitu Presiden memberikan grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi,” jelasnya, Jumat (20/12).
Baca Juga: Mengetahui Amnesti yang Diusulkan untuk 44 Ribu Napi
“Presiden memberikan grasi meminta pertimbangan Mahkamah Agung. Kalau Presiden memberikan amnesti dan abolisi meminta pertimbangan DPR. Grasi, amnesti dan abolisi itu bisa diberikan terhadap tindak pidana apa pun,” tambahnya.
Yusril Ihza Mahendra mengingatkan, jika Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada para koruptor, baik yang sudah divonis atau pun belum, maka perkaranya secara otomatis akan selesai.
“Kalau itu dilakukan maka ketentuan bahwa meskipun mengembalikan kerugian negara tidak menghapuskan sifat pidananya, dengan diberikan abolisi dan amnesti perkaranya selesai. Lebih tinggi itu UUD 1945,” tuturnya.
Baca Juga: Setiap Provinsi Perlu Miliki UU Pembentukannya Sendiri
Sebelumnya, Yusri Ihza Mahendra juga mengatakan bahwa kebijakan memaafkan koruptor asal mengembalikan uang yang dikorupsi merupakan baian dari strategi pemberantasan korupsi yang menekankan pada pemulihan aset.
Menurutnya, hal itu sejalan dengan United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang 7/2006.
Yusril Ihza Mahendra menilai pernyataan Prabowo Subianto menjadi gambaran dari perubahan filosofi penghukuman dalam penerapan KUHP nasional yang akan diberlakukan di awal tahun 2026.
“Kalau hanya para pelakunya dipenjarakan tetapi aset hasil korupsi tetap mereka kuasai atau disimpan di luar negeri tanpa dikembalikan kepada negara, maka penegakkan hukum seperti itu tidak banyak manfaatnya bagi pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat,” terangnya.
Presiden Prabowo Subianto sebelumnya mempertimbangkan untuk memaafkan para koruptor yang mengembalikan duit hasil korupsi ke negara.
“Saya dalam rangka memberi apa istilahnya tuh memberi voor, apa voor, apa itu, memberi kesempatan untuk taubat,” ucap Prabowo Subianto ketika berpidato di depan para mahasiswa Indonesia di Kairo, Mesir.
“Hai para koruptor atau yang merasa pernah mencuri dari rakyat, kalau kau kembalikan yang kau curi, ya mungkin kita maafkan, tapi kembalikan dong,” tambahnya.