6 Faktor "Food Estate" di Indonesia Gagal, Salah Satunya Anomali Iklim
Nasional

FTNews - Juli 2020, Presiden Jokowi menugaskan Kementerian Pertahanan untuk memimpin penguatan cadangan pangan nasional dengan sebuah program bernama Food Estate. Program ini merupakan Proyek Prioritas Strategis atau Major Project untuk tahun 2020 - 2024.
Program ini bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan seperti dalam pembangunan, pangan, dan masyarakat dapat merasakan manfaatnya secara langsung. Selain itu, ketahanan pangan Indonesia yang sangat rentan menjadi salah satu faktor pembuatan program ini.
Akan tetapi, permasalahan ini terus ada hingga program Food Estate ini dianggap gagal. Apa permasalahan utama sehingga masyarakat menganggap program Food Estate ini gagal?
Baca Juga: Tegas! Jokowi Minta Tidak Ada Lagi Politisasi Agama di Pemilu
Faktor Kegagalan Food Estate Indonesia
Berdasarkan Jurnal Ilmiah Holistic: Journal of Tropical Agriculture Science, faktor-faktor kegagalan ini terbagi ke dalam beberapa permasalahan.
- Menurut World Resource Institute, food estate bukanlah solusi yang tepat bagi Indonesia. Mereka menganggap permasalahan ketahanan pangan Indonesia berkaitan dengan distribusi, bukan ketersediaan. Mulai infrastruktur yang tidak memadai, biaya logistik mahal, manajemen barang yang lemah, dan panjangnya rantai pasok menjadi permasalahan distribusi pangan Indonesia.
- Daya beli yang lemah menjadi juga menjadi permasalahan utama dalam akses pangan. Harga yang tinggi akan menyebabkan ketidakpastian karena daya beli yang lemah.
- Konversi hutan gambut dan lahan-lahan yang memiliki keragaman hayati yang tinggi menjadi lahan pertanian tentu menjadi berita buruk dalam dunia konservasi. Hutan gambut ini memiliki peran penting dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Selain itu, tahan hutan gambut tidak cocok sebagai lahan pertanian karena memiliki tingkat kesuburan tanah yang rendah, pH yang sangat asam, dan selalu tergenang air.
- Komoditas program food estate terlalu Jawa-sentris. Penanaman seperti beras, jagung dan umbi-umbian menjadi permasalahan karena ini adalah konsep pertanian skala besar dan industri. Sehingga, kebutuhan pangan masyarakat di luar Pulau Jawa tidak dapat tercukupi.
- Ketidakadaan teknologi untuk memprediksi iklim juga menjadi permasalahan. Pola penanaman harus mengikuti iklim yang dihadapi. Ketidakadaan teknologi ini menimbulkan risiko gagal panen lebih tinggi.
- Belum adanya kelembagaan khusus berbasis korporasi petani juga memengaruhi kegagalan program ini. Kedaulatan masyarakat sebagai produsen, distributor, dan konsumen sangat diperlukan. Sebenarnya, konsep ini sudah ada dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015 - 2019.
Baca Juga: Di WWF ke-10, Indonesia Siap Gaungkan Penyelamatan Air Bersih
Kegagalan ini sebenarnya bukan kali pertama. Program ini sudah ada sejak zaman Presidenan Soeharto hingga sekarang. Permasalahannya sekarang, akankah pemerintah akan belajar dari kesalahan-kesalahan masa lalu?