Ekonom Fakhrul Fulvian: QRIS Penting tapi Kedaulatan Rupiah tidak Boleh Ditinggalkan!
Perdebatan publik terkait kewajiban pembayaran non-tunai di sejumlah gerai ritel kembali menyoroti keseimbangan antara modernisasi sistem pembayaran dan perlindungan kedaulatan Rupiah.
Menanggapi isu tersebut, Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, Fakhrul Fulvian, menegaskan bahwa inovasi pembayaran digital seperti QRIS perlu ditempatkan secara proporsional dan berlandaskan hukum.
Menurut Fakhrul, QRIS merupakan salah satu capaian penting kebijakan sistem pembayaran nasional yang dikoordinasikan oleh Bank Indonesia. Tingginya tingkat adopsi QRIS menunjukkan kepercayaan publik terhadap sistem keuangan nasional sekaligus efektivitas kebijakan bank sentral dalam mendorong efisiensi transaksi dan inklusi keuangan.
Baca Juga: Lihat Lagi Pidato Gibran di KTT G20: Bahas QRIS hingga Isu Iklim
“QRIS adalah inovasi yang patut diapresiasi. Ia mempermudah transaksi, menurunkan biaya ekonomi, dan memperluas akses pembayaran non-tunai. Dalam konteks modernisasi ekonomi, ini adalah langkah yang tepat,” ujar Fakhrul, dalam keterangannya, dilansir InfoPublik.
Secara Hukum Rupiah Satu-satunya Alat Pembayaran yang Sah
Namun demikian, ia mengingatkan bahwa kemajuan teknologi pembayaran tidak boleh mengaburkan prinsip dasar kedaulatan mata uang. Secara hukum, Rupiah adalah satu-satunya alat pembayaran yang sah di Indonesia, yang hingga kini diwujudkan dalam bentuk uang kertas dan uang logam, serta ke depan akan mencakup Rupiah digital yang diterbitkan oleh bank sentral.
Baca Juga: Modus QRIS Palsu Makin Marak, Ini Cara Mencegahnya
“QRIS bukan mata uang, melainkan sistem pembayaran. Yang berpindah dalam transaksi QRIS adalah saldo Rupiah di rekening atau uang elektronik. Karena itu, penolakan pembayaran tunai tidak bisa dipandang sekadar kebijakan bisnis, melainkan menyangkut hak warga negara,” jelasnya.
Digitalisasi tak Boleh Berubah menjadi Eksklusi
Fakhrul menilai kepastian hukum terkait alat pembayaran menjadi krusial agar tidak ada kelompok masyarakat yang terpinggirkan dari aktivitas ekonomi akibat keterbatasan akses atau preferensi teknologi. Menurutnya, selama seseorang menggunakan alat pembayaran yang sah, transaksi semestinya tidak ditolak.
“Digitalisasi tidak boleh berubah menjadi eksklusi. Tidak semua warga memiliki tingkat literasi digital, akses perbankan, atau kesiapan teknologi yang sama. Negara harus memastikan modernisasi berjalan inklusif,” katanya.
Ia juga menekankan pentingnya edukasi publik mengenai perbedaan antara uang, sistem pembayaran, dan instrumen pembayaran. Minimnya pemahaman, menurut Fakhrul, berpotensi memicu kesalahpahaman di masyarakat dan praktik yang bertentangan dengan prinsip kedaulatan Rupiah.
“Uang bukan sekadar alat bayar, tetapi simbol kedaulatan dan kepercayaan. Sistem pembayaran bisa berkembang mengikuti teknologi, tetapi penetapan uang yang sah tetap menjadi kewenangan negara,” ujarnya.
Ke depan, Fakhrul menilai peran bank sentral semakin strategis, yakni mendorong inovasi sistem pembayaran sekaligus menjaga martabat dan kepastian hukum Rupiah. Keduanya, menurut dia, bukan hal yang saling bertentangan.
“QRIS harus ditempatkan sebagai pelengkap yang memperkuat peredaran Rupiah, bukan sebagai pengganti. Dengan edukasi yang tepat dan penegakan aturan yang konsisten, modernisasi pembayaran dapat berjalan tanpa mengorbankan kedaulatan mata uang dan hak warga negara,” pungkasnya.