Heboh Tudingan Manipulasi Waktu Subuh di Indonesia, Ini Klarifikasi Kemenag
Tudingan adanya manipulasi waktu subuh oleh Kementerian Agama (Kemenag) mencuat terutama di media sosial. Hal itu berawal pendapat ahli fotogrametri Profesor Tono Saksono yang mengungkapkan hasil penelitian fajar yang dilakukannya sejak tahun 2016.
Tono Laksono menyimpulkan bahwa azan subuh di Indonesia berlangsung terlalu cepat. Ia menyebut temuan ini didasarkan pada pengamatan konsisten terhadap fenomena cahaya fajar di berbagai lokasi.
Profesor Tono menjelaskan bahwa ketidaktepatan waktu tersebut berpotensi menimbulkan dampak dalam pelaksanaan ibadah harian umat Muslim. Dalam sebuah episode Podcast Madilog Forum Keadilan, ia membahas secara kritis metode penentuan waktu subuh dan alasan dugaan terjadinya manipulasi tersebut.
Baca Juga: 10 Hal yang Dapat Membatalkan Salat, Salah Satunya Banyak Bergerak
Metode Penetapan Subuh di Indonesia
Kemenag menjelaskan dasar ilmiah dan fikih penetapan waktu subuh di Indonesia, menyusul mencuatnya kembali perdebatan publik mengenai derajat posisi Matahari sebagai penanda terbitnya Fajar Shadiq. Penetapan jadwal salat nasional ditegaskan bukan hasil perkiraan semata, tetapi merupakan hasil ijtihad kolektif yang menggabungkan kajian astronomi, verifikasi lapangan, dan rujukan fikih dari literatur klasik hingga kontemporer.
Baca Juga: Benarkah Dilarang Potong Rambut atau Kuku saat Junub? Berikut Penjelasan Hukumnya
Direktur Urusan Agama Islam dan Bina Syariah Arsad Hidayat menjelaskan bahwa para ulama fikih telah mendeskripsikan Fajar Shadiq sebagai cahaya putih horizontal yang muncul di ufuk timur dan terus bertambah terang. Deskripsi ini, menurutnya, menjadi dasar syar’i yang harus diverifikasi dengan pendekatan astronomi modern.
“Fikih memberi definisi, astronomi membantu mengukur. Sinergi keduanya penting agar penetapan ibadah memiliki dasar yang lengkap,” ujarnya di Jakarta.
Arsad menegaskan pemilihan derajat sekitar –20° telah melalui forum diskusi, musyawarah pakar falak, dan kajian fikih lintas mazhab.
Arsad memaparkan bahwa karakter atmosfer Indonesia yang berada di kawasan tropis memengaruhi intensitas dan hamburan cahaya fajar. Tingkat kelembaban, ketebalan atmosfer, hingga polusi cahaya turut membentuk kurva cahaya fajar yang berbeda dengan wilayah lintang sedang.
Di sejumlah titik observasi yang dilakukan bertahun-tahun, cahaya Fajar Shadiq berulang kali terdeteksi pada rentang –19° hingga –20°.
“Inilah sebabnya verifikasi lokal menjadi sangat penting. Kita tidak bisa hanya mengadopsi standar negara lain tanpa pengujian,” ujarnya.
Kemenag Bantah Adanya Manipulasi Waktu
Waktu subuh. [ftnews-copilot]
Ia menegaskan bahwa Kemenag tidak pernah menutup ruang dialog ilmiah. Semua dokumen pengamatan, foto, data lapangan, serta hasil uji tim tersedia untuk dikaji para peneliti falak maupun ormas Islam.
Tuduhan manipulasi data, kata Arsad, bertentangan dengan fakta dokumentasi yang telah dipublikasikan.
“Seluruh proses dilakukan dengan kehati-hatian, akuntabilitas, dan keterbukaan. Negara tidak berkepentingan apa pun selain memastikan ibadah umat terlaksana dengan benar,” katanya.
Menurut Arsad, perbedaan penentuan derajat di kalangan peneliti maupun ormas Islam sejatinya adalah bagian dari dinamika ijtihad ilmiah yang wajar.
“Ada yang mendapatkan –18°, ada yang –12° atau –13°. Perbedaan itu harus dihargai sebagai ikhtiar keilmuan. Namun negara perlu mengambil satu keputusan yang memberi kepastian hukum dan ketenangan beribadah. Keputusan tersebut kami ambil berdasarkan data empiris lokal dan kajian fikih yang mendalam,” jelasnya.
Lebih jauh ia menegaskan bahwa Kemenag menjaga keseimbangan antara kepastian hukum fikih dan ketelitian ilmiah. “Dua aspek ini berjalan bersama. Kita ingin umat melaksanakan subuh pada waktu yang sah secara syar’i dan valid secara astronomi,” imbuhnya.